GerejaPerdana. Dengan menyertakan ayat 22, kiranya Gereja kalian mau menyampaikan sapaan baik bagi kawanan domba maupun bagi mereka yang bertugas memelihara kesejahteraan mereka. Bagi umat dan para pemimpin umat. Dengan gambaran itu, sebenarnya juga diberikan ruang bagi dimensi "keibuan" dari para pemimpin, bukan saya "kebapaaan" mereka.
Apa Kamu Masih Beribadah Seperti Cara Gereja Mula-mula? seven Fakta Ini Perlu Kamu Tahu… Lori Official Writer Di masa Yesus, Dia dan murid-murid-Nya selalu berkumpul di hari pertama setiap minggunya. Mereka juga suka datang ke ibadah-ibadah di sinagoge dengan teratur. Tapi setelah kebangkitan Yesus, murid-murid-Nya tak lagi diterima di sinagoge. Hal ini mendorong murid-murid untuk mengadakan pertemuan mingguan mereka dengan berkumpul bersama. Tujuannya pun sangat sederhana yaitu untuk mengingat segala perbuatan Yesus. Itulah yang kemudian dikenal dengan kebiasaan gereja mula-mula. Tapi sekarang, tradisi berkumpul itu mulai berubah menjadi perkumpulan dengan tujuan yang berbeda-beda dari satu gereja dengan gereja yang lain. Gereja saat ini mulai kehilangan fokusnya kepada Tuhan sendiri. Ada beberapa gereja yang hanya berkumpul untuk tujuan belajar tentang bisnis, membangun diri sendiri, belajar soal moralitas dan belajar kunci menjadi kaya. Beberapa gereja lain berkumpul untuk mendengar khotbah atau guru terkenal. Alasannya bisa bermacam-macam. Padahal, orang-orang Kristen seharusnya menyadari kalau ada tujuan yang paling mendasar dari sekadar alasan seperti di atas. Berikut terdapat 7 perbedaan ibadah atau perkumpulan gereja mula-mula dengan gereja saat ini. Mereka biasanya berkumpul bersama untuk tujuan-tujuan ini. 1. Merayakan Hari Tuhan Jemaat gereja mula-mula berkumpul bukan untuk sekadar mencari pemuasan diri atau mencari pengetahuan rohani dari pendeta kenamaan. Tapi mereka berkumpul secara khusus untuk merayakan hari Tuhan. Mereka memfokuskan diri untuk mengingat soal kematian dan kebangkitan-Nya. Mungkin kita perlu memperbaiki bagaimana kita menyebutkan Hari Minggu’ dengan Hari Tuhan’. Salah satu referensi Alkitab yang mengingatkan kita soal hal ini adalah dari ucapan Yohanes di Wahyu 1 10, “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala…” 2. Bersekutu dalam kesatuan Jemaat gereja mula-mula bersekutu dalam kesatuan. Mereka melakukan hal itu sebagai deklarasi bersama bahwa gereja Tuhan itu satu baca Roma 10 9, one Korintus 12 3, Filipi ii 6-eleven, one Timotius 2 5, three 16. Dari sinilah pengakuan Iman Rasuli ada sebagai janji iman orang percaya kepada tritunggal, Bapa, Putra dan Roh Kudus. 3. Mendengar firman Tuhan Sepanjang ibadah atau perkumpulan orang-orang percaya di jaman gereja mula-mula akan dipenuhi dengan pembacaan firman Tuhan. Mereka menjalankan ibadah pembacaan Alkitab bersama atau yang disebut dengan liturgi. Sebagian besar isi kitab suci akan dibacakan sembari mengajak semua umat berdiri, setelah itu duduk kembali. Kebiasaan ini persis seperti ibadah di sinagoge dan menjadi simbol dari penghormatan kepada firman Tuhan baca 1 Tesalonika 5 27 dan Kolose 4 16. iv. Berdoa bersama Sebagai jemaat yang menjunjung kesatuan, jemaat gereja mula-mula selalu ibadah dan berdoa bersama. Kita melihat contoh ini dalam Kisah Para Rasul four. “Sesudah dilepaskan pergilah Petrus dan Yohanes kepada teman-teman mereka, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang dikatakan imam-imam kepala dan tua-tua kepada mereka. Ketika teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama kepada Allah..” Kisah 4 23-24a Para rasul juga selalu punya jam doa sebanyak tiga kali sehari. Doa-doa ini meliputi doa umum bagi semua orang. Baca Juga 12 Tingkah Nyeleneh yang Banyak Dilakuin Jemaat Gereja Saat Ibadah, Kamu Salah Satunya Gak five. Menghormati bait Allah Jemaat gereja mula-mula punya pemikiran yang sangat berbeda dengan gereja saat ini. Mereka percaya kalau saat beribadah, Tuhan dan juga malaikat-malaikat-Nya hadir di tengah-tengah mereka. Karena itulah mereka akan memasuki ruang maha kudus dengan penuh penghormatan, baik dari penampilan, sikap dan penyembahan. Mereka percaya bahwa menyembah Tuhan harus seperti yang dilakukan di surga. half-dozen. Kerap menggelar perjamuan kudus Gereja mula-mula kerap menggelar perjamuan kudus setiap minggunya. Mereka menyebutnya Ekaristi yang artinya perjamuan ucapan syukur. Perjamuan ini menjadi bentuk pernghormatan dan ucapan terima kasih kepada Yesus atas kematian-nya. Selain itu, mereka juga percaya bahwa dengan tubuh dan darah Yesus, mereka telah ditebus sepenuhnya dari dosa. Hal ini persis seperti yang dilakukan Yesus dalam peristiwa pelipatgandaan roti dan ikan. 7. Tetap menghormati Maria Orang Kristen mula-mula sangat menghormati peran Maria dalam keselamatan umat manusia melalui Yesus. Karena itulah mereka menyebutnya sebagai Pembawa Tuhan’ dalam artian wanita yang telah mengandung Tuhan. Karena itulah dia patut disebut dengan Bunda Allah’. Penghormatan ini masih sangat kental di Katolik. Sebaliknya, gereja karismatik maupun protestan Lutheran tak begitu menonjolkan Maria, namun rasa hormat atas kepatuhannya dan perannya dalam kedatangan Yesus tak pernah berkurang. Bagi gereja saat ini, Maria masih tetap jadi tokoh wanita Alkitab yang patut diteladani. Demikian beberapa fakta yang bisa kita pelajari dari cara hidup jemaat gereja mula-mula. Dan mari belajar untuk mengembalikan ibadah yang sejati kepada Tuhan. Jangan pernah mengubah tujuan penyembahan kita hanya untuk agenda-agenda duniawi kita. Sebab Tuhan memanggil gereja-Nya untuk memberitakan tentang kabar keselamatan yang dilakukannya kepada semua orang dan bangsa. Karena itulah Yesus harus jadi kepala atas setiap gereja-Nya. Sumber Halaman one

Jemaatperdana, belum mengenal konflik ideologis antara kapitalis versus komunis, liberal versus komunitarian, modernism versi posmo, dst. Dalam kondisi turbulensi dan stagnasi itu maka kita perlu transformasi. Dan momen Pentakosta dapat menjadi energi terbarukan untuk mendorong transformasi itu. Dengan begitu, daya dorong transformasi bukan

. The virtual church is a future church design that allows all human spiritual activities, such as worship, cell communities, prayer services, counseling, sacraments, evangelism, and so on, to enter soon a new era where the role of human beings is becoming increasingly insignificant and replaced with a touch of internet-based technology. The development of technology, with all its sophistication, has shifted the definition of the church. There is a characteristic of the true church, which is that 'koinonia' communion cannot be implemented virtually. This study aims to conduct a biblical study of the true meaning of digital ecclesiology to find whether the virtual church violates the rules of God's word or not. As well as looking for biblical patterns of spiritual life in building a virtual church. Using qualitative methods with a literature study approach through the source of books and literature as a research reference. The conclusion of this study is that the practice of virtual churches does not violate the rules of God's word; however, virtual churches need to build strong relationships between members koinonia/communion, as the early congregations did in Acts 242-47, becoming a pattern patron of building virtual churches in today's virtual adalah rancangan gereja masa depan yang memungkinkan semua aktivitas rohani manusia seperti ibadah, komunitas sel, pelayanan doa, konseling, sakramen, penginjilan dan sebagainya akan segera memasuki era baru, di mana peran manusia menjadi semakin tidak signifikan dan tergantikan dengan sentuhan teknologi berbasis internet. Perkembangan teknologi dengan segala kecanggihannya membuat definisi gereja mengalami pergeseran. Ada karakteristik gereja sejati, yaitu koinonia persekutuan yang tidak mampu diterapkan secara virtual. Penelitian ini bertujuan melakukan kajian biblis makna eklesiologi digital yang sesungguhnya, untuk menemukan apakah gereja virtual menyalahi kaidah firman Tuhan atau tidak? Serta mencari pola kehidupan rohani yang Alkitabiah dalam membangun gereja virtual. Menggunakan metodekualitatif dengan pendekatan studi pustaka, melalui sumber buku-buku dan literatur sebagai acuanpenelitian. Kesimpulan penelitian ini adalah praktik gereja virtual tidak menya-lahi kaidah firman Tuhan, namun demikian, gereja virtual perlu membangun relasi yang kuat antar-anggota koinonia/persekutuan, seperti yang dilakukan jemaatmula-mula dalamKisah Para Rasul242-47, menjadi sebuah pola patron membangun gereja virtual di era sekarang ini. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 209 Submit October 07, 2022 Reviewed November 08, 2022 Accepted November 12, 2022 !Keywords Kata kunciearly congregational life’s patterns; ecclesiological doctrine; virtual church; doktrin eklesiologi; gereja virtual; pola hidup jemaat mula-mula !!!!DOI http//d 33991/ !Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual Jimmy Lizardo Sekolah Tinggi Teologi Rahmat Emmanuel Correspondence Abstract. The virtual church is a future church design that allows all human spiritual activities, such as worship, cell communities, prayer services, counseling, sacraments, evangelism, and so on, to enter soon a new era where the role of human beings is becoming increasingly insignificant and replaced with a touch of internet-based technology. The development of technology, with all its sophistica-tion, has shifted the definition of the church. There is a characteristic of the true church, which is that 'koinonia' communion cannot be implemented virtually. This study aims to conduct a biblical study of the true meaning of digital ecclesiology to find whether the virtual church violates the rules of God's word or not. As well as looking for biblical patterns of spiritual life in building a virtual church. Using qualitative methods with a literature study approach through the source of books and literature as a research reference. The conclusion of this study is that the practice of virtual churches does not violate the rules of God's word; however, virtual churches need to build strong relationships between members koinonia/communion, as the early congregations did in Acts 242-47, becoming a pattern patron of building virtual churches in today's era. Abstrak. Gereja virtual adalah rancangan gereja masa depan yang memungkinkan semua aktivitas rohani manusia seperti ibadah, komunitas sel, pelayanan doa, konseling, sakramen, penginjilan dan sebagainya akan segera memasuki era baru, dimana peran manusia menjadi semakin tidak signifikan dan tergantikan dengan sentuhan teknologi berbasis internet. Perkembangan teknologi dengan segala kecanggihannya membuat definisi gereja mengalami pergeseran. Ada karakteris-tik gereja sejati, yaitu koinonia persekutuan yang tidak mampu diterapkan secara virtual. Penelitian ini bertujuan melakukan kajian biblis makna eklesiologi digital yang sesungguhnya, untuk menemukan apakah gereja virtual menyalahi kaidah firman Tuhan atau tidak? Serta mencari pola kehidupan rohani yang Alkitabiah dalam membangun gereja virtual. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka, melalui sumber buku-buku dan literatur sebagai acuan penelitian. Kesimpulan penelitian ini adalah praktik gereja virtual tidak menya-lahi kaidah firman Tuhan, namun demikian, gereja virtual perlu membangun relasi yang kuat antar-anggota koinonia/persekutuan, seperti yang dilakukan jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul 242-47, menjadi sebuah pola patron membangun gereja virtual di era sekarang ini. Pendahuluan Era sekarang adalah era virtual dimana hampir setiap bidang kehidupan terhubung dengan internet. Semua kalangan mengakui bahwa kehidupan manusia mulai bangun di pagi hari dan sampai kembali tidur di malam hari selalu terhubung dengan internet. Yang lebih fenomenal lagi tatkala topik virtual berimbas pengaruhnya sampai ke gereja. Dr. Joshua M. Sinaga dalam tulisannya memberi pernyataan bahwa kata virtual dapat berarti seperti atau seolah-olah itu Vol 6, No 2, November 2022 209-221 e-ISSN 2579-9932 p-ISSN 2614-7203 J. Lizardo Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 210 nyata. Kata virtual bermakna maya, bisa juga disebut bayangan atau seolah-olah nyata, dan merupakan simulasi dari bentuk nyata. Bila dibandingkan dengan fatamorgana, maka terdapat perbedaan mendasar karena virtual tidak berarti palsu pada tingkat output hasil.Jadi berbicara mengenai teknologi virtual adalah interaksi yang melekat dalam dunia platform media sosial, karena virtual adalah media visual yang menyenangkan dan telah menyentuh hampir setiap aspek kehidupan masyarakat saat menakjubkan lagi, platform media telah mensosialisasikan kehidupan manusia pada level virtual tanpa memerlukan interaksi fisik sehingga memungkinkan setiap orang yang memiliki koneksi internet, berpotensi terhubung dengan semua orang di seluruh belahan dunia ini. Jadi jelas terlihat bahwa platform media sosial di era sekarang telah mengubah kehidupan banyak orang yaitu membuat semua orang menjadi dekat. Hal seperti ini belum pernah terjadi dalam beberapa dekade sebelumnya. Kini jarak bukan lagi penghalang utama bagi manusia untuk bersosialisasi, dengan kata lain, semua batasan yang pernah ada sebelum-nya dan merupakan kendala bagi manusia dalam bersosialisasi, kini hampir hilang karena platform media sosial telah menjembatani semua pihak. Dengan perkembangan teknologi yang semakin melejit saat ini, mengakibatkan terjadi percepatan penggunaan teknologi di semua sektor, terlebih ketika dunia baru-baru ini menghadapi wabah pandemi Covid-19. Dalam beribadah di era pandemi, gereja diperkenalkan dengan istilah ibadah virtual atau ibadah online, dimana kegiatan peribadatan gereja secara onsite diberhentikan atau dilarang karena adanya peraturan social distancing oleh pemerintah. Hal ini membuat para pendeta dan teolog mulai berpikir bahwa praktik ibadah virtual berjamaah yang terbentuk selama era pandemi covid-19 sangat memungkinkan akan menggantikan praktik ibadah onsite yang telah dilakukan di gereja selama ratusan tahun. Pada akhirnya beberapa pertanyaan muncul, Apakah fenomena ini akan disebut gereja virtual? Apakah gereja virtual Alkitabiah? Apakah gereja virtual akan menjadi gereja masa depan? Bagaimana cara membangun gereja virtual? Mampukah gereja virtual dilakukan tanpa kehilangan esensi dari gereja sejati? Gereja Virtual adalah desain gereja masa depan yang memungkinkan semua aktivitas rohani manusia seperti ibadah, komunitas sel, pelayanan doa, konseling, sakramen, penginjilan, dan sebagainya akan segera memasuki era baru, dimana peran manusia menjadi semakin tidak diperlukan dan digantikan oleh teknologi berbasis internet. Ini adalah awal dari era ketika gereja suatu hari kelak akan memiliki pendeta virtual yang lebih gesit dan cerdas. Ini adalah kemungkinan yang bisa terjadi. Bila fenomena gereja virtual menjadi kenyataan, maka tidak dipungkiri lagi bahwa akan terjadi pergeseran makna terhadap hakikat gereja yang sebenarnya, karena ada karakteristik gereja sejati yaitu ‘koinonia’ persekutuan yang hanya bisa dilakukan dalam perhimpunan onsite, dan tidak bisa diterapkan secara virtual. Yang penulis maksud dengan koinonia di sini, adalah sebuah relasi antar-anggota dengan rasa solidaritas yang tinggi, saling merangkul, menguatkan, membagi hidup, serta adanya hubungan persaudaraan. Implementasi pola kehidupan jemaat mula-mula dalam merupakan solusi bagi gereja dalam membangun gereja virtual agar tetap bertumbuh kearah kepenuhan Kristus. Karena cara hidup jemaat mula-mula yang dikisahkan dalam perikop tersebut telah menghasil-Pdt. Dr. Joshua M. Sinaga, Gereja Virtual diambil dari Internet diakses tanggal 30 September 2022 Ibid. EPIGRAPHE, Vol 6, No. 2 November 2022EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 211 kan pertumbuhan gereja yang pesat pada masa itu, yang mana secara prinsip pola kehidupan rohani tersebut dapat diterapkan di segala masa, termasuk di masa kini. Pola hidup jemaat mula-mula yang dapat diterapkan oleh para pemimpin gereja masa kini dalam membangun Gereja Virtual, antara lain membangun dasar keimanan yang kokoh, menjalin relasi dalam keragaman, mempertahankan identitas kristiani, serta membangun hospitalitas antar sesama. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan studi pustaka menggunakan sumber buku-buku dan literatur sebagai acuan untuk melakukan kajian biblis makna ekklesiologi yang sesungguhnya; menemukan praktik gereja virtual sesuai firman Tuhan; dan mencari pola kehidupan rohani yang Alkitabiah dalam membangun gereja virtual. Pembahasan Gereja Virtual Sebuah Kajian Eklesiologi Digital Digital Ecclesiology Menghadapi kemajuan teknologi yang terus berkembang dengan segala kecanggihannya mengakibatkan terjadi perubahan besar di segala sektor kehidupan manusia. Sektor gerejawi salah satu sektor yang terkena dampaknya, yaitu munculnya fenomena gereja virtual yang membuat praktek ritual keimanan orang Kristen pun mengalami perubahan dari biasanya. Penelitian ini akan memberi beberapa ulasan mengenai virtual dan gereja virtual. Secara umum, pengertian Virtual adalah sesuatu yang tak nyata maya dan dapat dimanipulasikan. Rekayasa yang dilakukan bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi dan menyederhanakan kinerja pengembangan teknologi sistem Joshua M. Sinaga dalam tulisannya mengatakan bahwa virtual dapat bermakna seperti atau seolah-olah secara nyata. Kata virtual bermakna maya atau seolah-olah nyata. Itu adalah keadaan simulasi dari bentuk nyata. Ada perbedaan mendasar dengan fatamorgana karena virtual bukan berarti palsu pada tataran output hasil. Teknologi virtual merupakan dinamika pasti dari dunia platform media sosial. Virtual adalah media yang dapat dirasakan dan dinikmati secara visual dan telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat dewasa pengertian di atas, Sinaga kemudian melanjutkan dengan memberi definisi mengenai gereja virtual. Menurutnya, Gereja Virtual adalah gereja yang seolah-olah nyata, tetapi sesung-guhnya tidak. Di dalamnya ada persekutuan yang bersifat maya, walaupun output, tetap merupakan suatu fakta. Artinya, gereja virtual memungkinkan adanya kehidupan persekutuan tanpa harus lagi direpotkan dengan tempat atau virtual memungkinkan para pendeta melaksanakan fungsi pastoralia melalui kantornya. Pendeta tidak lagi harus mengendarai mobilnya dan menuju rumah jemaat untuk melakukan perkunjungan sebab ia dapat hadir secara “nyata” melalui hologram. Jemaat pun tidak lagi harus direpotkan setiap minggu pagi untuk berkumpul dalam ibadah raya minggu pagi di gedung gereja. Ia cukup menyediakan waktu untuk duduk tenang disalah satu ruangan rumahnya dan mendengarkan pendetanya berkhotbah secara virtual. Apa itu Virtual? Pengertian, Contoh dan Fungsinya, publish 11 April 2020, diakses 03 Oktober 2022. Pdt. Dr. Joshua M. Sinaga, Gereja Virtual diambil dari Internet diakses tanggal 30 September 2022. Ibid. Ibid. J. Lizardo Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 212 Topik “eklesiologi” adalah topik yang menarik untuk dikaji karena merupakan doktrin penting dalam kekristenan. Istilah ekklesia sendiri pada awalnya merupakan suatu istilah umum yang digunakan dalam kehidupan manusia jauh sebelum gereja lahir. Salah satu contoh yaitu pada masa seorang ahli filsafat bernama Pythagoras,kata “ekklesia” ἐκκλÎσια memiliki arti yang berhubungan dengan kelompok kepercayaan, namun istilah ini sudah dikenal oleh masyarakat umum dari kalangan Yunani dan Romawi, untuk merujuk suatu pertemuan sah, atau disebut badan istilah eklesiologi diambil dari dua kata Yunani, yaitu ekklesia ἐκκλÎσια artinya gereja, dan logos λογος artinya perka-taan, pengetahuan atau logika, jadi dapat disimpulkan bahwa “eklesiologi” memiliki arti ilmu yang mempelajari atau membicarakan mengenai gereja. Dari pengertian inilah makna gereja berkembang yang awalnya bersifat umum, kemudian menjadi bersifat khusus dan akhirnya menunjuk kepada gereja. Dalam Alkitab Perjanjian Baru, kata gereja pada akhirnya menggunakan istilah ekklesia bahasa Gerika, yang oleh rasul Petrus dalam 1 Petrus 29, didefinisikan sebagai orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terangNya ajaib untuk memberitakan perbuatan-perbuatanNya yang besar. Sejalan dengan perkataan Tuhan Yesus kepada Petrus dalam Matius 1618b “…Aku akan membangun JemaatKu ekklesia-Ku dan pintu gerbang alam maut NKJV The gates of hadesh tidak akan Beberapa istilah gereja yang digunakan antara lain ekklesia dalam bahasa Yunani berarti gereja yang merupakan perserikatan atau kumpulan, qahal dalam bahasa Ibrani berarti perkumpulan, ekkaleo kata kerja berarti dipanggil keluar untuk membawa Gereja digunakan untuk mencitrakan sifat-sifat dari gereja jemaat tersebut, yaitu gereja universal, gereja lokal, dan gereja sebagai sebuah perhimpunan/perkumpulan. Gereja Universal ialah semua orang percaya yang mempunyai relasi secara pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Hal ini menggambarkan bahwa semua umat yang percaya yang mengakui Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat merupakan bagian dari gereja secara universal tersebut, dengan demikian tidak terdapat perbedaan di antara setiap anggota gereja sebab Kristus Yesus telah menyatukan seluruh orang-orang percaya tersebut. Gambaran dalam Alkitab mengenai gereja universal terdapat dalam 1 Korintus 1213-14 dengan penekanan bah-wa semua orang percaya adalah satu tubuh. Selanjutnya Gereja Lokal ialah perkumpulan/ him-punan orang-orang yang bertemu pada suatu tempat/lokasi secara khusus. Gereja lokal menjadi bagian gereja universal. Di dalam perjanjian baru, gereja lokal adalah jemaat-jemaat pada setiap kota atau tempat di zaman perjanjian baru. Bisa dilihat dari beberapa tulisan yang ditulis rasul Paulus dalam perjanjian baru merupakan tulisan atau surat kiriman yang ditujukan kepada beberapa jemaat lokal, misalnya jemaat yang berada di kota Roma, Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, Tesalonika, Berea, Tiatira, dll. Sedangkan Gereja sebagai sebuah perhimpunan/perkumpulan, memiliki arti bahwa gereja merupakan perhimpunan dari pribadi-pribadi untuk mencapai suatu tujuan, contoh dalam 1 Korintus 1118. lih. https/// diundu pada hari Minggu, 1 Nopember 2020, Pkl. WIB.. Dikutip dari buku karangan Demsy Jura, Pendidikan Sivilitas Kristen UKI Press, 2021, 14 Kalis Stevanus, “Mengimplementasikan Pelayanan Yesus dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”, Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, Vol. 1, No. 2, 2018, 285-286 EPIGRAPHE, Vol 6, No. 2 November 2022EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 213 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penekanan utama ekklesia bukanlah tempat, gedung atau balai pertemuan melainkan kumpulan orang atau komunitas jemaat. Sehingga secara teologis, gereja dapat diartikan suatu kelompok atau komunitas orang percaya yang dipanggil dalam Yesus mendirikan sebuah gereja atau jemaat, orang percaya pergi memberitakan Injil dan memuridkan. Hal ini oleh kalangan orang Kristen sering menyebutnya sebagai Amanat Agung Matius 2818-20. Inilah yang membuat gereja mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pola Kehidupan Jemaat Mula-Mula Kis. 242-47 Jemaat mula-mula di Yerusalem merupakan cikal bakal terbentuknya gereja pasca khotbah Petrus yang mempertobatkan ribuan petobat dari jumlah 120 orang percaya yang berkumpul di loteng Yerusalem, kemudian ditambah 3000 orang yang bertobat dalam khotbah pentakosta Petrus Kis. 241. Zaluchu menyatakan bahwa peristiwa turunnya roh Kudus di loteng Yerusalem menjadikan rasul-rasul sebagai orang-orang yang militan dan berani memberitakan ajaran Yesus Kristus dari Nazareth yang telah dihukum mati secara kontroversial tetapi pada hari yang ketiga bangkit dan kemudian naik ke Sorga. Peristiwa ini yang membuat Yerusalem gempar sehingga banyak orang yang bertobat menjadi percaya kepada Yesus. Pada waktu itu, Yerusalem justru sedang dipenuhi oleh orang dan penganut Yahudi yang datang dari berbagai wilayah Kekaisaran saat itu menjadi sebuah kelompok baru yang hadir dalam masyarakat dan kemudian menjadi sebuah kegerakan besar yang berkembang luas dan semakin disukai orang banyak. Lukas sebagai penulis Kisah Para Rasul memberi gambaran bahwa tiap-tiap hari banyak orang yang menjadi percaya dan bertobat sehingga jumlah mereka bertambah banyak. Inilah cikal bakal gereja di Yerusalem. Sejalan dengan pandangan Carson dan Douglas yang menyimpulkan bahwa kitab yang ditulis Lukas tersebut penuh dengan banyak peristiwa yang menandai lahirnya gereja sebagai hasil dari perbuatan Roh Kudus melalui pelayanan para Rasul di dalam menaati perintah memberitakan Injil dimulai dari Yerusalem, kemudian Yudea dan Samaria, hingga ke ujung narasi tentang kehidupan jemaat mula-mula di bagian awal Kisah Para Rasul menjadi pengantar dari seluruh makna dan isi kitab itu sendiri. Penjelasan Lukas diawali dengan turunnya Roh Kudus,dan mulai aktifnya kuasa di dalam pelayanan para rasul. Lukas bermaksud menjelaskan bahwa gereja lahir sebagai dampak khotbah Petrus yang dimaknai sebagai penginjilan mula-mula dan realitas kehadiran kuasa Roh Kudus di hari Pentakosta..Sejak itu, gereja mengalami pertumbuhan yang luar biasa hingga berita Injil sampai ke wilayah-wilayah bangsa-bangsa non-Yahudi yang didiami oleh orang-orang asing. Mereka ikut disela-Paul Enns, The Moody HandBook Of The Theology, BukuPegangan Teologi Malang Literatur SAAT, 2003, 432 Sonny Eli Zaluchu, Eksegesis Kisah Para Rasul 242-47 untuk Merumuskan Ciri Kehidupan Rohani Jemaat Mula-mula di Yerusalem, Jurnal Epigraphe Volume 2, Nomor 2, November 2018 , 72 Bruce Wilkinson and Kenneth Boa, Talk Thru the Bible, 1st ed. Malang Gandum Mas, 2017, 435. Carson and Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament, 1st ed. MalangGandum Mas, 2016, 323. Harls Evan R. Siahaan, Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul, DUNAMIS Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 2017 12–28, journal/ diakses tanggal 22 Maret 2021 Yushak Soesilo, Pentakostalisme Dan Aksi Sosial Analisis Struktural Kisah Para Rasul 241-47, DUNAMIS Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 2 April 23, 2018 136, DOI diakses tanggal 22 Maret 2021 J. Lizardo Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 214 matkan oleh kehadiran Paulus, yang bertobat dari seorang penganiaya pengikut Kristus dan sosok penghancur gereja, diubah menjadi pelaku utama lahirnya gereja dan perintisannya di luar Yerusalem, di Antiokhia dan melebar di seluruh kota-kota Asia menarik di sini adalah bagaimana Lukas memberi gambaran mengenai cara hidup jemaat mula-mula sebagai komunitas orang Kristen pertama di Yerusalem. Cara hidup inilah akhirnya menjadi sebuah pola dalam gerakan awal Kekristenan. Pola hidup jemaat mula-mula diuraikan dalam Kisah Para Rasul 242-47, sebagai berikut Pertama, Jemaat mula-mula memiliki rasa haus dan lapar akan Firman, sehingga mereka menundukkan diri dibawah kepemimpinan para rasul, dan secara konsisten hidup di dalam pengajaran rasuli. Yang dimaksud pengajaran rasul-rasul adalah pengajaran Tuhan Yesus yang telah mereka dengar dan terima selama hidup bersama-sama dengan Yesus. Dalam Kisah Para Rasul 222-36, pengajaran rasul-rasul berarti pemberitaan tentang kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, serta makna keselamatan bagi manusia. Ini adalah dampak peker-jaan Roh Kudus yang telah mengubahkan hidup jemaat mula-mula, mereka tekun dan sung-guh-sungguh menempatkan diri di dalam pengajaran rasul-rasul untuk dimuridkan. Lukas menyebutnya dengan istilah Bertekun Dalam Pengajaran Rasul-Rasul. Kedua, Jemaat mula-mula secara konsisten hidup dalam Persekutuan atau koinonia, dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan serta persamaan di dalam persekutuan yaitu hubungan yang tanpa sekat. Mereka adalah orang-orang percaya baru yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda tetapi dipersatukan oleh Kristus. Jadi, selain bertekun dalam pengajaran rasul, jemaat mula-mula juga bertekun dalam Persekutuan yaitu secara bersama-sama berkumpul menghadap hadirat Tuhan, beribadah, menyanyi dan berdoa bersama, serta melakukan pelayanan pengua-tan iman kepada orang yang lemah. Persekutuan telah membuat jemaat mula-mula saling melayani dan peduli serta saling menerima tanpa membeda-bedakan. Lukas menyebutnya dengan istilah Bertekun Dalam Persekutuan. Ketiga, Jemaat mula-mula selalu hidup bersatu dalam segala keadaan. Hal ini terjadi karena persekutuan di antara mereka telah menjadi kuat dan telah terbangun dengan baik sehingga membuat mereka menjadi satu kesatuan komunitas yang tidak terpisahkan. Lukas menyebutnya dengan istilah Hidup Bersatu. Keempat, Jemaat mula-mula memupuk sikap saling peduli di antara sesama anggota jemaat. Sikap ini telah membangkitkan rasa peduli yang tinggi hingga pada tingkat kebutuhan jasmani material. Mereka saling peduli soal kebutuhan fisik, bila ada yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan, mereka mengadakannya secara bersama-sama melalui apa yang mereka miliki dan menganggap sebagai harta milik bersama. Lukas menyebutnya dengan istilah saling peduli. Kelima, Jemaat mula-mula secara konsisten tekun beribadah di Bait Allah. Pada masa itu, sebagian besar jemaat mula-mula adalah orang Yahudi, dan untuk melakukan ritual keagamaan seperti beribadah dan berdoa, mereka hanya melakukannya di dalam Bait Allah. Setiap hari mereka tekun datang ke Bait Allah untuk berdoa dan beribadah. Dan setiap kali mereka selesai berdoa mereka selalu menerima hasil doa, bahkan seringkali Allah langsung bergerak menyatakan kuasaNya saat mereka sedang berdoa Kis. 424-31; 121-19. Dimulai dari 120 orang yang berdoa dan jemaat berkembang pesat karena peran doa. Inilah yang membuat jemaat mula-mula berkembang pesat. Keenam, Jemaat mula-mula mengadakan Eckhard J. Schnabel, Paulus Sang Misionaris - Perjalanan, Strategi Dan Metode Misi Rasul Paulus, 1st ed. Yogyakarta Andi Offset, 2010, 29–33 EPIGRAPHE, Vol 6, No. 2 November 2022EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 215 pertemuan dari rumah ke rumah secara bergiliran dan mereka memecahkan roti pada setiap pertemuan tersebut. Roti merupakan makanan utama masyarakat Yahudi waktu itu. Memecahkan roti dalam bahasa Yunani adalah klasei tou artou, yang artinya makan memecahkan roti di sini mengandung pengertian yaitu makan bersama. Mereka melakukan semua kegiatan itu dengan gembira dan tulus hati tanpa ada motivasi apapun. Lukas dengan sangat baik menggambarkan suasana gereja mula-mula, penuh sukacita dan kemurnian hati. Ketujuh, jemaat mula-mula senang memuji Tuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan persekutuan, berbagi kepada sesama dan memecahkan roti bersama, dilakukan jemaat Kristen mula-mula dengan motivasi untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Hal yang luar biasa ada-lah pada bagian akhir Kisah Para Rasul 247, dimana jemaat mula-mula disukai orang banyak. Kehidupan rohani jemaat mula-mula memberi dampak positif dan disambut baik oleh penduduk Yerusalem yang saat itu mayoritas menganut agama Yahudi. Dengan demikian, secara otomatis gereja mula-mula semakin bertambah secara kuantitas dengan orang-orang percaya baru dan berkembang semakin pesat. Dengan memperhatikan pola kehidupan di atas, dapatlah dikatakan bahwa jemaat mula-mula memiliki relasi koinonia persekutuan yang kuat antar sesama anggota. Tidaklah mengherankan bila jemaat mula-mula merupakan prototipe gereja, serta menjadi patron aktual bagi gereja masa Relasi antar-Anggota dengan Pola Hidup Jemaat Perdana melalui Gereja Virtual Gereja Virtual menjadi populer di era pandemi covid-19, dimana kegiatan gereja dan pelayanan yang terkait harus dinonaktifkan oleh karena alasan merebaknya pandemi Covid-19. Wabah yang mempengaruhi segala sektor termasuk sosial memaksa harus menghentikan segala bentuk pertemuan yang melibatkan orang banyak dalam jumlah besar dalam satu tempat. Ini adalah protokol kesehatan terkait ekses pandemi Covid-19, yang dikenal dengan sebutan social distancing. Akibatnya, gereja pun seolah berhenti beribadah. Sekalipun pada awalnya terda-pat kontradiksi dan dinamika pro-kontra terkait dengan larangan beribadah di gereja-gereja, namun lambat laun semua pihak pun menyadari esensi dari protokol tersebut. Gereja mulai mengubah pola ibadahnya, antara lain memindahkan ibadah bersama di gereja menjadi ibadah di rumah dengan menggunakan teknologi media live streaming. Susanto Dwiraharjo menyebutnya dengan istilah gereja digital. Sedangkan Joshua M. Sinaga menyebutnya sebagai gereja virtual. Gereja virtual melakukan kegiatan virtual dengan menggunakan platform teknologi internet, antara lain ibadah virtual, komunitas sel virtual, doa virtual, konseling virtual, dan sebagainya. Sedangkan bentuk-bentuk pelayanan gereja virtual bisa kita temukan dengan mudahnya seperti ibadah online atau ibadah life streaming, doa online melalui aplikasi zoom atau google meet, konseling online melalui aplikasi Whatsapp, serta berbagai seminar online yang telah menjadi trend masa kini. Tidak ada pilihan lain, ibadah Daniel Sutoyo, Suatu Eksegesis Kisah Para Rasul-Seri I Surakarta STT Intheos, 2010, 54 Daniel Sutoyo, Gaya Hidup Gereja Mula-Mula Yang Disukai Dalam Kisah Para Rasul 242-47 Bagi Gereja Masa Kini Jurnal Antusias, 2014. Dwiraharjo, Susanto. “Konstruksi Teologis Gereja Digital Sebuah Refleksi Biblis Ibadah Online Di Masa Pandemi EPIGRAPHE Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 1 May, 2020, Accessed July 25 Pdt. Dr. Joshua M. Sinaga, Gereja Virtual diambil dari Internet diakses tanggal 15 Desember, 2020. J. Lizardo Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 216 online merupakan salah satu bentuk ibadah yang memungkinkan pada era pandemi Covid-19 sebagai solusi bagi penerapan social distancing dan physical distancing. Oleh karenanya, Dominggus menyatakan bahwa ibadah online memiliki fungsi dan tujuan yang sama seperti ibadah onsite, yaitu sebagai sarana bagi manusia untuk bersekutu dan berkomunikasi dengan menulis bahwa ibadah online bukanlah merupakan pilihan melainkan dipahami bahwa ibadah Kristen bukanlah ibadah kaku yang tidak bisa disesuaikan dengan keadaan, karena ibadah Kristen berpusat pada umat-Nya datang kepada Allah sebagai tanggapan atas keselamatan, proklamasi Injil, dan ketaatan akan firman Allah. Oleh karena itu, melihat pembahasan mengenai definisi-definisi gereja di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kebaktian Kristen yang diadakan secara online merupakan ibadah yang tidak menyalahi kaidah firman Tuhan, karena ibadah virtual tidak menunjuk pada bangunan fisik atau tempat gedung yang disucikan atau denominasi, melainkan kumpulan orang-orang percaya yang dipanggil keluar untuk mengerjakan keputusan Allah atas dunia 1Pet. 25-9. Fenomena ini membuat para pendeta dan teolog mulai berpikir bahwa praktik ibadah virtual berjamaah yang terbentuk selama era pandemi covid-19 sangat memungkinkan akan menggantikan praktik ibadah onsite yang telah dilakukan di gereja selama ratusan tahun. Pada akhirnya beberapa pertanyaan muncul, Apakah fenomena ini akan disebut gereja virtual? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah gereja virtual akan menjadi gereja masa depan? Bagaimana cara membangun gereja virtual? Berdasarkan definisi gereja virtual di atas, mampukah gereja virtual dilakukan tanpa kehilangan esensi dari gereja sejati? Dalam sorotan penulis mengenai gereja virtual, ada karakteristik khusus gereja sejati, yaitu ‘koinonia’ persekutuan, yang seharusnya ada dan mutlak, namun tidak bisa dilaksanakan secara online atau virtual. Koinonia dalam Kamus Theologia, diambil dari kata Yunani berarti menurut John Reumann, akar kata koinonia adalah koinon, yang berarti “bersama” common.Reumann melanjutkan, koinonia adalah kata benda yang umum-nya diartikan sebagai persekutuan, namun tidak hanya sekedar persekutuan, melainkan juga ada arti partisipasi, dan bahkan asosiasi. Koinonia gereja mengandung nilai demikian dapatlah dikatakan bahwa karakteristik koinonia itu dapat dimaknai sebagai sebuah relasi antar-anggota dengan rasa solidaritas yang tinggi, saling merangkul, menguat-kan, membagi hidup, serta adanya hubungan persaudaraan. Dalam Perjanjian Baru, istilah koinônia dimaknai dalam beberapa hal, antara lain berbagi dalam penderitaan Kristus Fil 310, membantu orang yang membutuhkan Rm 1525-26, keikutsertaan dalam Ekaristi 1Kor Dicky Dominggus, Efektivitas Pelaksanaan Ibadah Daring Ditinjau dari Roma 121-2, SANCTUM DOMINE, 2020. Akses 02 Okt 2022. Dwiraharjo, Susanto. “Konstruksi Teologis Gereja Digital Sebuah Refleksi Biblis Ibadah Online Di Masa Pandemi EPIGRAPHE Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 1 May, 2020, Accessed July 25, 2020. R. Soedarmo, Kamus Istilah Theologia, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2003, John Reumann, “Koinonia in Scripture Survey of Biblical Text,” in On the Way to Fuller Koinonia Official Report of the Fifth World Conference on Faith and Order, ed. Thomas F. Best and Gunther Gassmann Geneva WCC Publication, 1994, 38. Dikutip dari Bayu Kaesarea Ginting, Koinonia Respon Gereja atas Krisis Ekologi, Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 1, Oktober 2022. Ibid. Bayu Kaesarea Ginting, Koinonia Respon Gereja atas Krisis Ekologi, Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 1, Oktober 2022 EPIGRAPHE, Vol 6, No. 2 November 2022EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 217 1016, persekutuan yang dihasilkan oleh Roh Kudus 2Kor 1313, dan juga untuk menyebut orang-orang beriman yang ikut serta dalam kehidupan Allah 2Ptr 13-4. Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa koinonia persekutuan merupakan perhimpunan atau persekutuan orang-orang percaya dengan Tuhan dan sesama, dengan berlandaskan kasih Allah, persaudaraan, solidaritas, dan saling berbelarasa. Inilah yang saya maksud dengan mengatakan bahwa ibadah online belum mampu melaksanakan fungsi dan peran koinonia persekutuan secara virtual, karena persekutuan virtual itu bersifat maya, sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan sentuhan kemanusiaan. Maksudnya, kebutuhan sentuhan kemanusiaan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Umat atau jemaat terlebih yang sedang dalam masalah dan penderitaan membutuhkan sapaan dan sentuhan kemanusiaan dari pemimpin dan sesama umat lainnya, yaitu hadir di antara mereka dalam lawatan disertai doa dan kata-kata verbal yang menguatkan. Perhimpunan secara langsung yaitu pertemuan fisik masih diperlukan bahkan merupakan kebutuhan manusia di era dunia digital ini. Kehausan manusia akan perhatian dan kasih sayang tidak bisa digantikan oleh kemajuan teknologi, karena cinta kasih itu bernilai kekekalan. Daniel Ronda dalam tulisannya menyatakan bahwa perkembangan teknologi dapat menyebabkan manusia hidup dalam “relasi dalam ketersendirian”. Artinya manusia berelasi dan berinteraksi dengan orang lain melalui media digital, tetapi hidup dalam karenanya untuk membangun gereja virtual yang alkitabiah, dibutuhkan sebuah pola kehidupan rohani sebagai fondasi yang kokoh dalam menjalankan ritual keimanan. Makarawung mengakui gereja-gereja dewasa ini memiliki masalah dengan pola hidup jemaat-nya. Dalam pengamatannya, eksistensi gereja yang berkembang dewasa ini memiliki pola pattern yang berbeda dengan tipikal jemaat mula-mula dalam kisah para rasul. Oleh sebab itu penting untuk melakukan review atas kehidupan kekristenan yang semakin agamawi dan perlu dibawa kembali ke gaya hidup waktu kekristenan itu muncul pertama kali di dimaksud Makarawung di sini adalah jemaat mula-mula. Pola kehidupan gereja mula-mula di Yerusalem telah menjadi sebuah pola gerakan Kristen mula-mula, yang juga telah memberikan ciri dasar bagi kehidupan gereja hingga dewasa ini. Hal inilah yang membuat penulis mengambil pola hidup jemaat mula-mula sebagai patron dalam membangun koinonia gereja virtual. Ada beberapa pola kehidupan jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul 242-47 yang dapat menjadi model atau pola kehidupan rohani dan sosial dalam membangun Gereja Virtual masa kini, yaitu Membangun Dasar Keimanan Yang Kokoh Firman Tuhan merupakan dasar bagi orang Kristen memiliki iman yang kokoh. Salah satu-nya adalah tekun dan berakar dalam pengajaran Firman Tuhan, seperti yang dilakukan jemaat mula-mula, mereka menundukkan diri dan mengikuti secara konsisten semua firman yang diajarkan rasul-rasul di Yerusalem. Yang dimaksud pengajaran rasul-rasul adalah pengajaran Tuhan Yesus yang telah mereka dengar dan terima selama hidup bersama-sama dengan Yesus. Dalam Kisah Para Rasul 222-36, pengajaran rasul-rasul berarti pemberitaan tentang kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, serta makna keselamatan bagi manusia. Daniel Ronda, “Kepemimpinan Kristen Di Era Disrupsi Teknologi”, Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Volume 3, Nomor 1, Januari 2019. Ellya Duta Makarawung, Sangkar Emas Agama Jakarta Spirit Grafindo, 2017, 30–31. J. Lizardo Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 218 Gereja Kristen mula-mula menjadi orang percaya yang berakar di dalam firman karena mereka mau dimuridkan dan diajar dengan kebenaran memiliki teachable spirit. Belajar dan mendalami firman Tuhan adalah salah satu karakteristik kehidupan rohani yang sehat. Perka-taan Yesus dalam Matius 44, "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah". Calhoun juga dengan tegas menyatakan bahwa dengan tekun belajar Firman Tuhan, maka kehidupan rohani orang percaya akan bertumbuh, diperlengkapi dan mereka akan mengetahui kedalaman hidup di dalam hubungan terhadap Allah dan Riggs menambahkan, bahwa saat orang percaya bertumbuh dan berakar di dalam firman, maka akan terbentuk suatu fondasi berupa doktrin doktrin dasar alkitabiah yang kokoh dalam kehidupan mereka. Sebab firman Tuhan berkuasa memberikan petunjuk dan koreksi atas hidup setiap orang. Tidaklah mengherankan, bila jemaat mula-mula menga-lami pertumbuhan iman secara luar biasa melalui pendalaman firman. Setiap hari mereka menerima makanan rohani yang segar langsung dari tangan para rasul. Menjalin Relasi Dalam Keragaman Relasi persekutuan koinonia dengan saudara-saudara seiman merupakan sebuah kebutuhan yang penting bagi semua orang percaya. Tuhan memberikan komunitas saudara-saudara seiman di sekitar kita bukanlah tanpa maksud. Justru persekutuan dengan saudara seiman sering dipakai Tuhan sebagai wadah komunitas untuk saling menguatkan yang lemah, saling menghibur yang sedih, saling mengingatkan yang lupa, saling menegur yang salah, dan sebagainya. Inilah praktik koinonia seperti yang dilakukan jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul 2. Secara umum ada beberapa kendala yang biasanya menghalangi suatu persekutuan, yakni perbedaan strata sosial, status ekonomi, warna kulit, asal usul serta berbagai latar belakang lainnya. Semua hal tersebut berpotensi menciptakan kelompok-kelompok di dalam persekutuan yang menghambat terjadinya peleburan di antara sesama anggota jemaat. Menurut Morley, bahwa persekutuan adalah semua aspek yang didalamnya terdapat persaha-batan, kemitraan, perasaan senasib, hubungan yang saling membangun dan menguatkan, persaudaraan serta tinggal dan menurut Strong, persekutuan sebagai partnership, communion dan yang terbentuk di gereja mula-mula menunjukkan adanya keragaman, di mana mereka saling menerima satu sama lain apa adanya, sebagai sesama anggota tubuh Kristus. Hal ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Deborah Van Hunsinger, bahwa Yerusalem pada saat itu merupakan pusat spiritual bagi orang Yahudi dari berbagai asul usul, baik yang berbahasa Yahudi maupun Yunani, bahkan diseluruh jajahan Romawi. Tetapi Kristus, yang membentuk dasar dari persekutuan ini, itulah alasan mengapa Koinonia begitu kuat dipraktikkan di antara koinonia jemaat mula-mula, memberi contoh kepada sesama orang percaya untuk saling menerima satu dengan yang lainnya berdasarkan kasih Kristus. Orang percaya Adele Ahlberg Calhoun, Spiritual Disciplines Handbook - Practices That Transform Us Downers Grove, Illionis IVP Press, 2005, 165. Charlie Riggs, Belajar Berjalan Dengan Allah - 12 Langkah Pertumbuhan Iman Kristen, 4th ed. Jakarta Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009, 84–85. Patrick Morley, A Guide to Spiritual Disciplines Malang Gandum Mas, 2009, 100. James Strong, Strong's Exhaustive Concordance of the Bible Iowa Falls World Bible Publishers, 1986. Deborah Van Hunsinger, Practicing Koinōnia Theology Today 66, no. 3 2009346-367 diambil dari diakses tanggal 22 Maret 2021 EPIGRAPHE, Vol 6, No. 2 November 2022EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 219 diajar hidup dengan sikap dan perilaku bersatu dan bersehati di dalam perbedaan, membangun komunikasi yang sehat serta saling terlibat di dalam kehidupan satu sama lain, dengan demikian persekutuan itu menjadi kuat dengan sendirinya. Mempertahankan Identitas Kristiani Identitas Kristiani berkaitan ciri orang Kristen dalam menjalankan ritual keimanan. Salah satunya adalah Doa dan Pujian kepada Tuhan. Bertekun di dalam doa dan pujian kepada Tuhan dengan tidak jemu-jemu adalah salah satu gaya hidup rohani orang percaya yang harus dibangun setiap hari. Doa dan Pujian kepada Tuhan membuat umat-Nya sadar akan keberadaan Tuhan dan ketergantungan kepadaNya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Morley, bahwa doa merupakan kesempatan untuk bersekutu dengan Bapa di Surgawi. Inilah salah satu alasan utama mengapa orang percaya harus selalu berdoa disertai pujian kepada Tuhan. Yesus juga adalah seorang pendoa, dan Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk berdoa secara konsisten Mat. 6. Menurut Whitney, doa menciptakan semacam jalur hubungan dengan Tuhan di mana orang percaya dapat berbicara dan berkomunikasi dengan Tuhan adanya doa dan pujian yang terus-menerus dipanjatkan kepada Tuhan, maka manusia yang lemah akan mendapatkan kekuatan pada tempat dimana dia tidak mampu melakukannya. Sebuah riset yang dilakukan oleh Vasiliauskas dan McMinn, menghasilkan adanya keterkaitan antara kekuatan mengampuni melalui intervensi kata lain, gaya hidup doa dan pujian kepada Allah yang dimiliki jemaat mula-mula telah memberi kontribusi kepada kehidupan persekutuan yang harmonis dan penuh kasih di lingkup jemaat mula-mula. Setiap kali mereka selesai berdoa disertai pujian kepada Tuhan membuat Tuhan segera bergerak untuk menyatakan kuasa-Nya Kis. 424-31; 121-19. Inilah yang membuat jemaat mula-mula berkembang pesat. Membangun Hospitalitas antar-Sesama Pada umumnya, istilah hospitalitas dipahami sebagai sikap yang ramah, atau bermurah hati terhadap orang lain asing.Joas Adiprasetya menyebutkan, hospitalitas sebagai sikap yang “mengasihi orang asing sebagai sahabat,” atau “menyahabati orang harus diparaktekkan dalam gereja dan menjadi gaya hidup orang percaya, melalui sikap peduli di antara sesama warga gereja. Saling peduli mengandung unsur saling mencukupkan yang kekurangan berbagi dan rela berkorban. Inilah yang disebut saling menopang secara rohani dan jasmani. Jemaat mula-mula telah memberikan teladan saling peduli soal kebutuhan fisik, bila ada yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan, mereka mengadakannya secara bersama-sama melalui apa yang mereka miliki dan menganggap sebagai harta milik bersama. Patrick Morley, A Guide to Spiritual Disciplines Malang Gandum Mas, 2009, Donald S. Whitney, Disiplin Rohani - 10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen, 7th ed. Bandung Lembaga Literatur Baptis, 2007, 72. Sarah L. Vasiliauskas and Mark R. McMinn, The Effects of a Prayer Intervention on the Process of Forgiveness, Psychology of Religion and Spirituality 5, no. 1 2013 23–32. DOI Johannis Siahaya dan Harls Evan R. Siahaan, “Menggagas Hospitalitas Pentakostal Membaca Ulang Kisah Para Rasul 244-47 di Masa Pandemi”, DUNAMIS Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 5 No. 2 2021, Joas Adiprasetya, “Hospitalitas Wajah Sosial Gereja Masa Kini,” Situs Komunitas Jemaat GKI Pondok Indah, last modified 2013, accessed November 8, 2022, J. Lizardo Refleksi Kehidupan Gereja Perdana dalam Praktik Gereja Virtual EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 220 Menurut Whitney, perilaku gemar menolong dan menjadi bagian dari kebutuhan orang lain tersebut, merupakan karakteristik dari seorang yang sudah lahir baru di dalam Kristus. Peduli kepada sesama serta kebutuhan sesamanya merupakan salah satu cara mereka untuk merefleksikan diri sebagai pengikut Yesus. Sebab selama berada di bumi, Yesus menampilkan diri-Nya sebagai sosok yang memenuhi kebutuhan manusia, baik jasmani maupun rohani. KESIMPULAN Penekanan utama ekklesia bukanlah tempat, gedung atau balai pertemuan, melainkan kumpu-lan orang atau komunitas jemaat, sehingga secara teologis, gereja dapat diartikan suatu kelompok atau komunitas orang percaya yang dipanggil dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, ibadah Kristen bukanlah ibadah kaku, yang tidak bisa disesuaikan dengan keadaan, karena ibadah Kristen berpusat pada umat-Nya datang kepada Allah sebagai tanggapan atas keselamatan, proklamasi Injil, dan ketaatan akan firman Allah. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kebaktian Kristen yang diadakan secara online tidak menyalahi kaidah firman Tuhan, karena di dalam ibadah virtual terdapat kumpulan orang-orang percaya yang dipanggil keluar untuk mengerjakan keputusan Allah atas dunia 1Pet. 25-9. Dalam penerapan gereja virtual, ada tantangan yang dihadapi dan membutuhkan solusi, yaitu gereja virtual belum mampu melaksanakan fungsi dan peran koinonia persekutuan secara online, persekutuan virtual itu bersifat maya, sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan sentuhan kemanu-siaan. Peran dan fungsi koinonia persekutuan sebagai sebuah relasi antar-anggota yang berlandaskan solidaritas, hubungan persaudaraan, persahabatan yang saling merangkul, menguatkan, membagi hidup, hanya akan efektif dilakukan dalam pertemuan onsite. Jemaat mula-mula merupakan prototipe gereja, dan menjadi patron aktual bagi gereja masa kini. REFERENSI Adiprasetya, Joas, “Hospitalitas Wajah Sosial Gereja Masa Kini,” Situs Komunitas Jemaat GKI Pondok Indah, last modified 2013, Calhoun, Adele Ahlberg, “Spiritual Disciplines Handbook - Practices That Transform Us” Downers Grove, Illionis IVP Press, 2005 Carson, and Douglas J. Moo, “An Introduction to the New Testament”, 1st ed. Malang Gandum Mas, 2016. Dominggus, Dicky, “Efektivitas Pelaksanaan Ibadah Daring Ditinjau dari Roma 121-2”, SANCTUM DOMINE, 2020. Dwiraharjo, Susanto. “Konstruksi Teologis Gereja Digital Sebuah Refleksi Biblis Ibadah Online Di Masa Pandemi EPIGRAPHE Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, May, 2020. Enns, Paul, “The Moody HandBook Of The Theology, BukuPegangan Teologi” Malang Literatur SAAT, 2003. Ginting, Bayu Kaesarea, “Koinonia Respon Gereja atas Krisis Ekologi”, Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 1, Oktober 2022 Hunsinger, Deborah Van, “Practicing Koinōnia” Theology Today 66, no. 3 2009 Donald S. Whitney, Spiritual Check Up - 10 Pertanyaan Untuk Memeriksa Kesehatan Rohani Anda Yogyakarta Yayasan Gloria, 2011, 80. EPIGRAPHE, Vol 6, No. 2 November 2022EPIGRAPHE, e-ISSN 2579-9932, p-ISSN 2614-7203 221 Jura, Demsy, “Pendidikan Sivilitas Kristen” Jakarta UKI Press, 2021 Kalis, Stevanus, “Mengimplementasikan Pelayanan Yesus dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”, Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, Vol. 1, No. 2, 2018 Makarawung, Ellya Duta, “Sangkar Emas Agama” Jakarta Spirit Grafindo, 2017 Morley, Patrick, “A Guide to Spiritual Disciplines” Malang Gandum Mas, 2009 Reumann, John, “Koinonia in Scripture Survey of Biblical Text,” in On the Way to Fuller Koinonia Official Report of the Fifth World Conference on Faith and Order, ed. Thomas F. Best and Gunther Gassmann Geneva WCC Publication, 1994, 38. Dikutip dari Bayu Kaesarea Ginting, “Koinonia Respon Gereja atas Krisis Ekologi”, Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 1, Oktober 2022 Riggs, Charlie, “Belajar Berjalan Dengan Allah - 12 Langkah Pertumbuhan Iman Kristen”, 4th ed. Jakarta Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009 Schnabel, Eckhard J., “Paulus Sang Misionaris - Perjalanan, Strategi Dan Metode Misi Rasul Paulus”, 1st ed. Yogyakarta Andi Offset, 2010 Siahaan, Harls Evan R., “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul”, DUNAMIS Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 2017 Siahaya, Johannis dan Harls Evan R. Siahaan, “Menggagas Hospitalitas Pentakostal Membaca Ulang Kisah Para Rasul 244-47 di Masa Pandemi”, DUNAMIS Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 5 No. 2 2021 Sinaga, Joshua M., “Gereja Virtual”, Soedarmo, R., “Kamus Istilah Theologia”, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2003, Soesilo, Yushak, “Pentakostalisme Dan Aksi Sosial Analisis Struktural Kisah Para Rasul 241-47”, DUNAMIS Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 2 April 23, 2018. Strong, James, “Strong's Exhaustive Concordance of the Bible” Iowa Falls World Bible Publishers, 1986. Sutoyo, Daniel, “Gaya Hidup Gereja Mula-Mula Yang Disukai Dalam Kisah Para Rasul 242-47 Bagi Gereja Masa Kini” Jurnal Antusias, 2014 Sutoyo, Daniel, “ Suatu Eksegesis Kisah Para Rasul-Seri I” Surakarta STT Intheos, 2010 Vasiliauskas, Sarah L. and Mark R. McMinn, “The Effects of a Prayer Intervention on the Process of Forgiveness”, Psychology of Religion and Spirituality 5, no. 1 2013 “Apa itu Virtual? Pengertian, Contoh dan Fungsinya”, publish 11 April 2020. Whitney, Donald S., “Disiplin Rohani - 10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen”, 7th ed. Bandung Lembaga Literatur Baptis, 2007 Whitney, Donald S., “Spiritual Check Up - 10 Pertanyaan Untuk Memeriksa Kesehatan Rohani Anda” Yogyakarta Yayasan Gloria, 2011 Wilkinson, Bruce and Kenneth Boa, “Talk Thru the Bible”, 1st ed. Malang Gandum Mas, 2017 Zaluchu, Sonny Eli, “Eksegesis Kisah Para Rasul 242-47 untuk Merumuskan Ciri Kehidupan Rohani Jemaat Mula-mula di Yerusalem”, Jurnal Epigraphe Volume 2, Nomor 2, November 2018 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Covid-19 pandemic demands serious handling and response, not only at the level of regulation which resulted in a policy of breaking the chain of spreading the deadly virus in the social order, but also stimulating the church's attitude in alleviating the suffering of the people affected. This article is a study of Pentecostal reflective on the text of Acts 244-47, which was aimed to produce a theological attitude about caring for others in order to alleviate the suffering of the people, to the wider community outside the church, who are affected by the pandemic. This research was conducted by a qualitative approach with descriptive, analysis-interpretative, and comparative-argumentation methods, to gain new understanding of the text being studied. In conclusion, the rereading of Acts 247 proposed the hospitality of the Pentascostals, which not only show Christian kindness, but also a liturgical praxis. Abstrak. Peristiwa pandemi Covid-19 menuntut penanganan dan respons yang serius, bukan hanya pada tataran regulasi yang membuahkan kebijakan memutus mata rantai penyebaran virus mematikan tersebut pada tatanan sosial, namun juga menstimulasi sikap gereja dalam meringankan penderitaan umat yang terdampak. Artikel ini merupakan sebuah kajian reflektif kaum Pentakostal atas teks Kisah Para Rasul 244-47, yang bertujuan untuk menghasilkan sikap teologis tentang kepedulian terhadap sesama dalam rangka meringankan penderitaan umat, hingga masyarakat luas di luar gereja, yang terdampak pandemi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, analisis-interpretatif, serta argumentasi-komparatif, untuk mendapatkan pemahaman baru dari teks yang dikaji. Kesimpulannya, pembacaan ulang Kisah Para Rasul 244-47 menggagas sikap hospitalitas kaum Pentaskostal, yang bukan hanya sekadar menunjukkan kebaikan Kristen, namun juga tindakan Kaesarea GintingThe research aimed to find alternative resource of inspiration and motivation for the churches to respond the ecological crisis through the concept of koinonia on two documents of church DKG–PGI 2019–2024 and Encyclical Laudato Si’. The research used literature study approach. The research result showed that DKG–PGI 2019–2024 and Encyclical Laudato Si’–as the document of the church–could be used as church’s response in reality of ecological crisis through the concept of koinonia which has the values of solidarity, liberative, and sacramentalism in it. The concept of koinonia emerged in and through the reflection of faith on the Trinity that internalized through historicity, experience, and life internalisation, both as personal and church community. Abstrak. Penelitian ini bertujuan menemukan sumber alternatif inspirasi dan motivasi bagi upaya gereja untuk merespons krisis ekologi melalui gagasan koinonia pada dokumen DKG–PGI 2019–2024 dan Ensiklik Laudato Si’. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dokumen DKG–PGI 2019–2024 dan Ensiklik Laudato Si’ bisa menjadi respons gereja dalam perbincangan mengenai krisis ekologi, melalui gagasan koinonia yang bersifat solider, liberasi, dan sakramental yang dimiliki kedua dokumen tersebut. Gagasan koinonia seperti ini muncul dalam dan melalui refleksi iman akan Allah Trinitas yang dihayati melalui historisitas, pengalaman, dan penghayatan hidup, baik secara pribadi maupun sebagai komunitas DwiraharjoThe internet has in fact become one with today's life. Not only has his presence changed many things in the fabric of social life, but it has also changed religious behavior. The worship behavior that has been limited by time and space, and that has become a standard for one's faith, is no longer the case. Not only related to the space and time of worship, even more than that the liturgy of the church that has been sacred has also changed. The output of writing this article is to find a formulation of the digital church. This study applies a qualitative method with phenomenological analysis. With this method, the scattered data can then be constructed in a more meaningful and easily understood theme. This research was conducted through 4 processes, namely first describing facts based on data, second conducting an analysis of the facts found, third conducting a study of the topic from the standpoint of Christianity, and fourth finding its relevance in digital worship pada faktanya telah menyatu dengan kehidupan masa kini. Keha-dirannya tidak saja telah mengubah banyak hal dalam tatanan kehidupan sosial, tetapi juga telah mengubah perilaku keagamaan. Perilaku ibadah yang selama ini terbatasi oleh ruang dan waktu, dan itu telah dijadikan standar baku keimanan seseorang, sekarang tidak lagi demikian. Bukan saja terkait dengan ruang serta waktu peribadatan, bahkan lebih dari itu liturgi gereja yang selama ini disakralkan pun juga ikut berubah. Luaran dari penulisan artikel ini adalah untuk menemukan sebuah formulasi ten-tang gereja digital. Penelitian ini menerapkan metode kualtatif dengan analisis fenomenologi. Dengan metode ini akan dapat ditemukan data-data yang terserak selanjutnya dikonstruksikan dalam satu tema yang lebih bermakna dan mudah dipahami. Penelitian ini dilakukan melalui 4 proses, yaitu pertama mendiskripsikan fakta berdasarkan data, kedua me-lakukan analisis terhadap fakta yang ditemukan, ketiga melakukan kajian terhadap topik dari sudut pandang ajaran Kekristeenan, dan keempat me-nemukan relevansinya pada pola peribadatan secara digital. Harls Evan R. SiahaanPentecostalism is often to be concerned with Holy Spirit baptism, Spiritual gifts or speaking in tongue. Basically, Pentecostalism is about to dynamize Christian life’s character. This article is aiming to refer the nature of Pentecostalism according to The Acts, that it is not only about speaking in tongue and other Spiritual gifts, but the characteristic. This article is a research that using text analyzis of The Book of Acts about the true charateristic of Pentecostalism. The conclusion of this biblical research is, pentecostalist characteristic is about building dynamic person who has such characters continued steadfastly in fellowship and learning Bible, social care, enthusiastic, having favor with all the people, dare to witness, ministering with power and having intelegent ability. Abstrak Fenomena Pentakosta sering hanya dikaitkan dengan persoalan baptisan Roh Kudus dan bahasa roh, bahkan juga dengan karunia Roh. Sejatinya, Pentakostalisme merupakan sebuah dinamisasi karakteristik kehidupan Kristen. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan hakikat Pentakostalisme sesuai Kisah Para Rasul, bahwa Pentakostalisme bukan sekadar persoalan bahasa roh dan karunia roh yang lain, melainkan karakteristik. Penelitian ini bersifat analisis teks pada Kisah Para Rasul tentang karateristik Pentakostalisme yang sejati. Kesimpulannya, karakteristik pentakostalis adalah tentang membangun pribadi dinamis yang memiliki karakter tekun bersekutu dan belajar firman, peduli sosial, antusias, disukai orang, berani bersaksi, melayani dengan kuasa dan memiliki kemampuan intelektualitas. Kalis StevanusGereja sebagai bagian dari masyarakat juga terpanggil untuk terlibat dalam upaya mengatasi permasalahan yang sedang terjadi di sekitarnya. Makalah ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa pelayanan kristiani secara komprehensif yaitu pelayanan holistik adalah sangat relevan dan dibutuhkan sebagai jawaban untuk mewujudkan Injil Yesus Kristus menjadi realitas dan sekaligus dapat mengentaskan persoalan atau kondisi masyarakat di mana gereja berada. Pelayanan holistik adalah sebuah paham akan peranan gereja dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian Injil Yesus Kristus pada masalah konkret yang terjadi di sekitar gereja. Pelayanan holistic sebagai upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab ke dalam praksis, yang tentunya hal ini berlaku di tengah-tengah kondisi dan situasi masalah konkret di sekitar kajian biblika khususnya pemberitaan Injil Sinoptik mengenai pelayanan Tuhan Yesus, tampak sangat jelas bahwa Ia tidak memisahkan dualisme antara Pemberitaan Injil dan kepedulian social. Pelayanan-Nya tidak hanya focus pada Pemberitaan Injil semata, yaitu penobatan seseorang menjadi murid-Nya untuk memperoleh keselamatan jiwa, namun bersifat holistik, yakni juga memerhatikan kebutuhan sosial. Seyogyianya pelayanan gereja masa kini pun juga holistic utuh; menyeluruh seperti yang telah dilakukan oleh Tuhan EnnsThe Moody Handbook of Theology leads the reader into the appreciation and understanding of the essentials of Christian theology. It introduces the reader to the five dimensions that provide a comprehensive view of theology Biblical Theology, Systematic Theology, Historical Theology, Dogmatic Theology, and Contemporary Theology. Paul Enns provides a concise doctrinal reference tool for newcomer and scholar. Includes new material on the openness of God, health and wealth theology, the emergent church, various rapture interpretations, feminism, and Wajah Sosial Gereja Masa KiniJoas AdiprasetyaAdiprasetya, Joas, "Hospitalitas Wajah Sosial Gereja Masa Kini," Situs Komunitas Jemaat GKI Pondok Indah, last modified 2013, Calhoun, Adele Ahlberg, "Spiritual Disciplines Handbook -Practices That Transform Us" Downers Grove, Illionis IVP Press, 2005An Introduction to the New TestamentD CarsonDouglas J MooCarson, and Douglas J. Moo, "An Introduction to the New Testament", 1st ed. Malang Gandum Mas, 2016.Dicky DominggusDominggus, Dicky, "Efektivitas Pelaksanaan Ibadah Daring Ditinjau dari Roma 121-2", SANCTUM DOMINE, Sivilitas KristenDemsy JuraJura, Demsy, "Pendidikan Sivilitas Kristen" Jakarta UKI Press, 2021
Jawaban4.2 /5 306 prinzyeol08 gereja perdana yaitu membagi-bagikan,memecah-mecahkan roti. lalu gereja sekarang mengikuti tradisi dari gereja perdana yang diturunkan kepada gereja sekarang. bedanya,gereja sekarang memecah-mecakan roti dan di sebut perayaan ekaristi ah benar gak kasih aku like juga lah gak benar
Semenjak zaman rasul-rasul dan jemaat mula-mula, Gereja mengalami perubahan dan saat memasuki zaman Reformasi spirit gereja terus dipertahankan dan mengalami banyak tekanan dan pengaruh, setelah era reformasi gereja memasuki tantangan baru dan gereja harus berjuang mempertahankan nilai-nilai kebenaran di era modern. Beberapa perbedaan gereja mula-mula dan gereja modern, memberi gambaran kepada kita bahwa gereja sedang mengalami pergeseran nilai-nilai yang murni yang diwariskan oleh Para Rasul sesuai pesan Sang Kepala Gereja Yesus Kristus. Beberapa perbedaan dapat dirangkum sebagai berikutLokasi Gedung IbadahUkuran Besar, hubungan renggangHubungan Jauh, cenderung tidak saling kenal dan acuhAda Masalah Cari pendeta/Gembala SidangCara Hidup Individu, perseoranganPusat Kebaktian atau ibadah di gedung ibadah, dan aktif mengikuti program yang adaKehidupan Doa Pilihan pribadi, terbatasPenginjilan Penjangkauan keluar oleh orang-orang khusus, melalui program-program khususPemuridan Kelas, buku bacaan & catatan, sedikit teladan, transfer pengetahuanKepemimpinan Gembala Sidang, kepemimpinan tunggalTugas Pemimpin Memimpin program kerja, menyampaikan khotbah dengan baik, mendoakan jemaat, visitasi dllKeuangan Persembahan & Perpuluhan dari anggotaPengajaran Menekankan pengajaran atau kepercayaan khusus dari denominasi tersebut. Disampaikan oleh “orang tertentu”Gaya Pengajaran Statis, berpusat pada khotbah atau pengajaran satu arahKarunia Rohani Kurang berperan. Hanya dilakukan oleh orang tertentuHarapan Pada Anggota Setia hadir pada tiap program, memberi perpuluhan, masuk kelas pemuridan, aktif membantu “pelayanan”, membawa banyak orang ke “gereja”Perspektif Ibadah raya sebagai titik fokusKata Kunci Jadilah anggota “gereja”, datang bertumbuhlah bersama kamiMisi Mengutus utusan Injil, profesional dan sudah terlatih. Komitmen Memperluas institusi atau denominasi, keseragamanSpiritualitas Kristen cek-list, ketaatan pada agama/hukum, pemisahan antara kehidupan rohani dan sekulerGereja Mula-MulaLokasi Di rumah-rumahUkuran Kecil, hubungan akrabHubungan Dekat, transparan, saling peduliAda Masalah Saling menasehati dan membangun satu dengan yang lainCara Hidup Komunitas, kebersamaanPusat Ketaatan sebagai pelaku Firman Tuhan setiap waktu yang dimulai di rumah atau keluargaKehidupan Doa Penekanan yang kuatPenginjilan Pergi ke tetangga, saudara, teman dan masyarakat menjadi “kabar baik” dan bermultiplikasi secara alamiPemuridan “Mulut ke telinga”, teladan hidup, transfer pengetahuan dan Kepenatuaan, kepemimpinan jamakTugas Pemimpin Memperlengkapi jemaat untuk melakukan pekerjaan Tuhan bersama-samaKeuangan Membagi apa yang mereka miliki, jemaat mau saling berkorban bila ada sebuah kebutuhanPengajaran Mempelajari & mengaplikasikan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Setiap jemaat dapat saling belajar dan Pengajaran Kinetis, ada dialog dan tanya-jawabKarunia Rohani Dipraktekkan secara teratur oleh semua orang percaya untuk saling membangunHarapan Pada Anggota Menjadi “gereja” dimana saja, membawa “gereja” dalam masyarakat, melayani orang lain, menjadi terang dan garam di dunia, menjadi alat transformasi bagi kotanyaPerspektif Jemaat yang bertemu di rumah sebagai titik fokusKata Kunci Jadilah murid Kristus, pergi dan jadikan semua bangsa murid KristusMisi Gereja mengutus dirinya sendiri untuk bermultiplikasi, jemaat menyadari semua terlibat misi dari TuhanKomitmen Memperluas Kerajaan Allah, bergerak bersama tubuh Kristus yang ada tanpa memandang “organisasinya”.Spiritualitas Menjadi “gereja”, taat karena mengasihi Tuhan, kehidupan rohani maupun sekuler manunggal GerejaMula-Mula: Lokasi: Di rumah-rumah. Ukuran: Kecil, hubungan akrab. Hubungan: Dekat, transparan, saling peduli. Ada Masalah: Saling menasehati dan membangun satu dengan yang lain. Cara Hidup: Komunitas, kebersamaan. Pusat: Ketaatan sebagai pelaku Firman Tuhan setiap waktu yang dimulai di rumah atau keluarga.
The background of Latin American society in the past who were familiar with the hegemony of power of the bourgeoisie caused concern in the hearts of Christian theologians at the time. This concern finally gave birth to a theological model known as Liberation Theology. Liberation Theology is a praxis-oriented theological model, namely real action for the liberation of marginalized, poor and oppressed people. But the thought of Marxism influenced the concept of Liberation Theology so that the theological model was more like a destructive ideology. Bringing the concept of Liberation Theology to the light of the word of God is the right action for the church today in responding to the Liberation Theology. The aim is to analyze the contents of Liberation Theology, and how should the role of the church address the Liberation Theology, and apply liberation theology in everyday life. The method used is an explanatory qualitative approach to the role of the church in response to Liberation Latar belakang masyarakat Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori tentang peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 14 Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Fajar Gumelar*, Hengki Wijaya Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, Sulawesi Selatan *fajargumelar21298 Abstract The background of Latin American society in the past who were familiar with the hegemony of power of the bourgeoisie caused concern in the hearts of Christian theologians at the time. This concern finally gave birth to a theological model known as Liberation Theology. Liberation Theology is a praxis oriented theological model, namely real action for the liberation of marginalized, poor and oppressed people. But the thought of Marxism influenced the concept of Liberation Theology so that the theological model was more like a destructive ideology. Bringing the concept of Liberation Theology to the light of the word of God is the right action for the church today in responding to the Liberation Theology. The aim is to analyze the contents of Liberation Theology, and how should the role of the church address the Liberation Theology, and apply liberation theology in everyday life. The method used is an explanatory qualitative approach to the role of the church in response to Liberation Theology. Keywords church; Gutiérrez; liberation; praxis Abstrak Latar belakang masyarakat Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori tentang peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan. Kata Kunci gereja; Gutiérrez; pembebasan; praksis 1. Pendahuluan Salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah berkenaan dengan stratifikasi dan diferensiasi sosial, kemiskinan, dan diskriminasi. Di saat sebagian orang hidup dengan segala kemudahan, sebagian lainnya justru menderita dan hidup serba kekurangan. Di saat yang lain dipermudah dalam berbagai layanan Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 onlineVolume 2, No 1, Juni 2019; 14-26 Available at Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 15 publik, yang lain justru dipersulit. Belum lagi kentalnya budaya patriarkal yang begitu diskriminatif. Berdasarkan kenyataan bahwa gereja tumbuh dan berkembang dalam konteks sosial masyarakat Indonesia yang demikian, gereja dituntut untuk tidak menutup mata terhadap berbagai isu sosial masyarakat yang terjadi disekitarnya, sebab gereja dipanggil untuk memberitakan kabar baik bagi mereka yang tertindas dan tertawan serta membawa damai sejahtera Allah bagi dunia. Gagasan ini pada dasarnya merupakan bagian dari konsep Teologi Pembebasan yang mula-mula lahir di Amerika Latin, dan kemudian turut memengaruhi Asia termasuk Indonesia, sebagai bentuk keinsafan gereja akan tanggung jawabnya terhadap isu sosial masyarakat di sekitar. Artikel bertujuan untuk menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya gereja – sebagai saksi Kristus yang hadir ditengah konteks sosial masyarakat Indonesia yang timpang dan diskriminatif − menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan bagaimana gereja menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah lahirnya Teologi Pembebasan tidaklah lepas dari keadaan Amerika Latin di masa lampau. Orang-orang dari Amerika Utara, yakni orang-orang suku Indian berpindah ke wilayah Amerika Tengah dan Selatan, yang kemudian dikenal sebagai negeri-negeri Amerika Latin. Suku Indian kemudian menjadi penduduk asli disitu dan sangat men-cintai alam dan tanahnya. Keadaan yang damai dan tenteram itu berubah setelah keda-tangan bangsa Eropa khususnya Spanyol dan Portugis pada tahun 1942 dan mulai menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam dan tanah benua itu dan memperlaku-kan penduduk asli dengan Amerika Latin yang kaya dengan sumber daya alam ternyata tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya. Justru rakyat dikepung dengan kemelaratan dikarenakan kekayaan alam hanya dikuasai oleh segelintir orang bermodal yang memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan kaum lemah. Keadaan penduduk yang memprihatinkan ini menimbulkan berbagai reaksi, khususnya dari dalam gereja. Konsep pemikiran Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis muncul dari kalangan para teolog Katolik. Teolog-teolog pembebasan itu antara lain Rigoberta Manchú Tum, Frei Betto, Hugo Assmann dan Gustavo Metode Penelitian Penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri yang mencari sumber terpercaya yang diharapkan dapat melengkapi data yang telah ditemukan melalui Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas’ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia” makalah dipresentasikan pada Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia, STT IKAT, Jakarta, 4 September 2018. Ibid. Ibid. Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama Malang Gandum Mas, 2004 398. Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan.” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 16 observasi, wawancara, dan penelusuran literatur kepustakaan. Pembahasan di dalam paper dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori, yang menjelaskan segala hal berkaitan dengan teologi pembebasan dalam hubungannya dengan peran gereja melalui pembahasan teoritik yang sumbernya adalah literatur berupa buku dan jurnal. Penekanan pembahasan di arahkan pada usaha mencari penjelasan makna, dan fenomena berkaitan dengan pokok Pembahasan Gustavo Gutiérrez dan Teologi Pembebasan Diantara sekian banyak teolog-teolog pembebasan, Gutiérrez adalah salah satu yang paling tersohor. Gutiérrez lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan di Lima, dalam keluarga yang relatif miskin tampaknya telah membuat Gutiérrez memiliki rasa empati yang besar terhadap kehidupan orang-orang lain disekitarnya yang memiliki nasib yang sama atau bahkan lebih buruk darinya. Sebagai seorang teolog, Gutiérrez melihat kehidupan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas sebagai urgensi atau isu krusial dari sebuah teologi. “Teologi pembebasan dimulai sebagai refleksi iman dalam tindakan bersama atas orang miskin dan yang terpinggirkan, dan telah berkembang ke ranah praksiks, refleksi teologis, dan herme-neutika pascakolonial.”Gutiérrez berpandangan bahwa teologi seharusnya adalah the second act yang mengikuti praksis yang adalah the first act. Yang dimaksud dengan praksis adalah kontemplasi doa dan aksi komitmen. Inilah yang mencirikan Teologi Pembebasan, bahwa praksis selalu mendahului refleksi. Teologi Pembebasan pada umumnya memfokuskan praksis pembebasan bagi kaum termargi-nalkan, yang miskin, tertindas dan teraniaya, dengan tidak semata-mata menyuarakan keprihatinan dan kepedulian dari belakang meja belajar, tetapi turut menceburkan diri dalam kehidupan rakyat dan bersama-sama mengupayakan apa yang menjadi tuntutan dan keinginan pengamatan Gutiérrez terhadap konteks sosio-kultural Amerika Latin, kemiskinan Amerika Latin adalah kemiskinan struktural, artinya orang dibuat Wijaya, Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi Makassar Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, 2018, 23. Sonny Eli Zaluchu, Sistematika Riset dan Analisis Data Kuantitatif Semarang Golden Gate Publishing, 2018, 22-23. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” Orientasi Baru 25, no. 1 April 2016 20, diakses 22 Januari 2019, William T. Cavanaugh, Peter Manley Scott ed., Wiley Blackwell Companion to Political Theology USA John Wiley & 2019, 302-303. Band Ivan Sampe Buntu, “Membaca Teks Dalam Pandangan Poskolonial Catatan Kritis Atas Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci,” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 1, no. 2 2018 179–190. Ibid., 20. Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas’ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia” Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 25. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 17 Kemiskinan struktural merupakan konsekuensi interaksi kelas bawah masyarakat dengan kelas atas yang kapitalis dan berkarajter feodal. Perpaduan antara kapitalisme eksternal dan sikap feodal para pemodal internal berperanan di dalam memun-culkan kemiskinan. Ada suatu sistem yang secara struktural terbentuk di kalangan para pemilik modal atau kaum kapitalis untuk memperkaya diri sendiri dengan mengor-bankan kesejahteraan masyarakat miskin. Sistem ini membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan tertindas. Kesenjangan dan ketidakadilan inilah yang coba dibereskan oleh konsep Teologi Pembebasan ala Gutiérrez. Ia ingin mendamaikan materialisme dan idealisme dunia profan dengan surga transenden.”Gutiérrez mengatakan bahwa ia membuat tiga penemuan bahwa perlu memerangi ke-miskinan, orang miskin adalah kelas yang dapat diidentifikasi, dan bahwa “kemiskinan tidak disengaja…bukan hanya masalah kebetulan, tetapi hasil dari struktur.”Fenomena kontemporer adalah kemiskinan kolektif yang mengarahkan mereka yang menderita untuk menjalin ikatan solidaritas di antara mereka sendiri dan untuk perjuangan melawan kondisi di mana mereka berada dan melawan mereka yang mendapat manfaat dari kondisi ini. Dengan kata lain konsep Teologi Pembebasan berusaha untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup setiap umat manusia dimana sukacita surga yang mulia dinyatakan di dalam dunia yang fana. Dalam pandangan Teologi Pembebasan, gerejalah yang harus menjadi pemrakarsa dari tindakan ini sebagai saksi Kristus dan warga kerajaan Allah, bukannya sekadar berdiam diri atau malah mendukung hegemoni kekuasaan yang menindas kaum lemah. Satu penekanan penting dalam konsep pembebasan Gutiérrez adalah bahwa “sesuatu yang transenden tidak mungkin dibicarakan atau diwartakan tanpa adanya sebuah perubahan pada tatanan masyarakat yang tidak adil.”Tiga penemuan Gustavo Gutiérrez mengenai kemiskinan yaitu 1 kemiskinan adalah destruktif, sesuatu yang saling berlawanan, dan menghancurkan bukan sesuatu yang dapat diterima oleh tindakan kasih; 2 kemiskinan bukan kebetulan tetapi berstruktur. Maka diperlukan suatu perubahan baru; 3 kemiskinan adalah suatu kelas sosial sehingga terjadi diskriminasi dan eksploitasi status. Oleh karena itu Gutiérrez bertindak membantu yang miskin, dan membawa pemikirannya masuk dalam tindakan politik. Ivanovich Agusta, Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, 137-138. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 25-26. Paul E. Sigmud, Liberation theology at the crossroads democracy or revolution? New York Oxford University Press, Inc, 1990. Gustavo Gutiérrez, A Theology Of Liberation History, Politics, And Salvation Maryknoll, Orbis, 1973, 163-164. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 26. Robert McAfee Brown, Gustavo Gutierrez An Introduction to Liberation Theology Eugene, Oregan Wips and Stock Publisher, 2013, 32. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 18 Teologi Pembebasan memiliki empat metode. Pertama, Teologi Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi haruslah secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang Pembebasan bukanlah teologi yang bersifat universal tetapi kontekstual. Konteks pembebasan yang diupayakan terhadap masyarakat termarginalkan di Amerika Latin tentu tidak dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lain. Hal ini dikarenakan adanya kekhasan sosio-kultural dalam setiap komunitas masyarakat. Untuk itu gereja harus selalu melihat isu krusial dalam masyarakat, dan melihat konsep pembebasan seperti apa yang perlu disuarakan dan diupayakan. Kedua, teologi sebagai refleksi kritis di dalam komunitas. Menurut Gutiérrez, “teologi haruslah keluar dari kehidupan iman yang berusaha menjadi otentik dan sempurna.”Keotentikan dan kesempurnaan kekristenan yang sejati itu dapat dicapai apabila gereja memihak kepada masyarakat miskin dan melibatkan diri dalam perjuangan untuk membebaskan mereka. Gutiérrez memiliki pemikiran kedatangan Kerajaan dan pengharapan parousia adalah selalu dan pasti bersifat historis, temporal, realitas duniawi, sosial dan bukunya yang berjudul On the side of the poor the theology of liberation pemikiran Gutiérrez, dan Müller mengingatkan komunitas gereja, mengapa teologi pembebasan merupakan hadiah penting bagi gereja global. Esai Müller sangat berwawasan luas karena mereka mengklarifikasi aspek-aspek tertentu dari teologi pembebasan misalnya menjelaskan konteks, dan kontribusinya pada teologi sambil menawarkan alasan yang meyakinkan tentang mengapa teologi pembebasan harus dipandang lebih dari sekadar teologi regional belaka. Namun Teologi Pembebasan tidak boleh hanya memandang kemiskinan adalah tanggung jawab gereja saja tetapijuga tanggung jawab secara universal. Kemiskinan akan selalu ada di antara kita, namun yang terpenting bagaimana mengimplementasikan iman Kristen sehingga kaum miskin menyadari ada pembebasan yang lebih baik daripada kemiskinan itu sendiri yaitu pembebasan yang diberikan oleh Allah, dan bukan pembebasan yang diusahakan oleh manusia atau pemahaman teologi semata. Ketiga, menempatkan praksis sebagai peran utama bagi pembebasan kaum tertindas. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa praksis merupakan the first act dalam konsep Teologi Pembebasan. Gutiérrez melihat bahwa belas kasihan adalah pusat dari kekristenan, sehingga teologi Kristen haruslah menyangkut praksis yang secara konkret menerapkan kasih itu dalam kehidupan, khususnya dalam kegiatan Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” Veritas 1, no. 2 Oktober 2000 184. Ibid., 184. Ibid. Tim Gorringe, “Cult books revisited Gustavo Gutierrez’s A Theology of Liberation,” Theology 120, no. 4 2017 249, Gustavo Gutiérrez and Gerhard Ludwig Müller, On the Side of the Poor The Theology of Liberation Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Ibid., 185. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 19 pembebasan kaum miskin dan tertindas. “Teologi Pembebasan dalam seluruh tujuan praksisnya menyamakan mencintai sesama sama dengan mencintai Tuhan.” Teologi yang dicari oleh Gutierrez adalah sesuatu yang terbuka bagi anugerah Kerajaan Allah dalam protes menentang martabat manusia yang terinjak-injak, perjuangan melawan penjarahan sebagian besar orang, kasih yang membebaskan, dan pembangunan yang baru, adil, dan masyarakat teologi adalah the second act yang mengikuti praksis. Dalam tindakan pertama, gereja memainkan perannya sebagai saksi Kristus yang berdiri di pihak orang-orang miskin, tertawan dan tertindas. Sementara tindakan kedua adalah refleksi terhadap praksis yang kemudian diajarkan sebagai sebuah teologi. Dari penjelasan keempat metode tersebut di atas maka metode keempat mengaitkan Teologi Pembebasan dan konsep pemikiran Marxisme. Teologi Pembebasan pada hakikatnya tidaklah lepas dari konsep pemikiran Marxisme. Marxisme adalah paham yang berlandaskan pada pandangan-pandangan Karl Marx. Dalam pandangan Marxisme dikatakan bahwa agama adalah candu kekristenan yang mapan dan berpengaruh kala itu akhirnya memunculkan pendekatan materialistik dalam memahami agama. Hal ini kemudian menjadikan agama berkembang menjadi alat justifikasi penguasa yang dipandang sebagai wakil Tuhan ternyata justru menciptakan sistem yang diskriminatif dan egosentris. Freuerbach turut melihat bahwa terjadi penguasaan agama oleh kaum hegemonik yang kemudian berimplikasi pada pembentukan strata kelas-kelas dalam masyarakat, bahkan pola penindasan dan perilaku subordinatif lainnya oleh kelas penguasa kepada publik. Agama menjadi candu bagi masyarakat yang membuat ketagihan untuk menjaga survivalitas akan keistimewaan kelas yang keyakinan Kristen bukanlah agama atau legalitas di masyarakat, tetapi pribadi yang menyatakan kasih-Nya atas manusia, dan manusia pun melakukan kasih-Nya kepada yang lainnya. Teologi Pembebasan tidak dapat dilepaskan dari empat pilar pemikiran Marxisme. Adapun empat pilar Marxisme yang diadopsi oleh Teologi Pembebasan adalah a analisis perjuangan kelas; b mengutuk harta milik/kekayaan pribadi; c mendukung pemberontakan yang keras; d “manusia baru” menebus dirinya sendiri menjadi Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 32. Tim Gorringe, “Cult books revisited Gustavo Gutierrez’s A Theology of Liberation,” Theology 120, no. 4 2017 252, Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 186. Wasito Raharjo Jati, “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,” Walisongo 22, no. 1 Mei 2014 136, diakses 24 Januari 2019, Wasito Raharjo Jati, “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,” 136. Ibid., 137. Ibid. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 20 juruselamat bagi dirinya sendiri.Teologi Pembebasan pun turut menerapkan sepuluh dasar pemahaman Marxisme terhadap iman Kristen, yang hasilnya adalah a tidak mengakui adanya kejatuhan; b menyangkal bahwa kematian merupakan akibat dari kejatuhan; c menjadikan Allah sebagai Marxis pertama; d menjadikan Yesus sebagai pencipta subversi; e tidak mengindahkan karya penebusan; f mengubah arti pertobatan pertobatan ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang miskin dan yang tertindas; g menyimpangkan makna kasih disebut kasih jikalau terlibat dalam pemberontakan dan perjuangan melawan penindas; h memindahkan “perbuatan- perbuatan” Kristen ke dalam praksis Marxisme; i menundukkan gereja kepada mandat Marxis; j tidak memiliki doktrin eskatologis yang di atas adalah pertimbangan sebagai kritik yang mana Teologi Pembebasan mengabaikan rencana Allah bagi umat-Nya sekiranya Dia mengizinkan kemiskinan itu ada sebagai konsekuensi rencana-Nya dan kehendak-Nya di masa yang akan datang. Gereja hadir untuk melakukan kehendak-Nya, dan kehendak Allah bukanlah satu-satunya untuk memihak kaum miskin, dan terpinggirkan tetapi kehendak Allah yang membebaskan. Dalam perjalanan sejarah Teologi Pembebasan yang panjang membawa generasi baru para teolog Teologi Pembebasan pada masa kini yang dituliskan secara jelas dalam buku The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto, Ivan Petrella menjelaskan bahwa teologi pembebasan saat ini mendapati dirinya tidak mampu bergerak lebih dari sekadar berbicara tentang pembebasan untuk benar-benar diberlakukan dalam masyarakat. Memberikan interpretasi baru yang berani tentang keadaan saat ini, dan potensi masa depan dari teologi pembebasan. Selanjutnya Ivan Petrella menyatukan penelitian orisinal tentang gerakan, dengan perkembangan dalam teori politik, teori hukum kritis, dan politik ekonomi untuk merekonstruksi pemahaman teologi pembebasan tentang teologi, demokrasi dan kapitalisme. Hasilnya adalah pemulihan proyek-proyek sejarah, sehingga memungkinkan para teolog pembebasan untuk sekali lagi menempatkan realitas pembebasan, dan bukan hanya janji, di garis depan tugas mereka. Dengan demikian semakin nyata perjuangan para teolog Teologi Pembebasan untuk mewujudkan Teologi Pembebasan dalam realitas kehidupan Kristen, dan bergereja. Pemikiran Gutiérrez yang melahirkan Teologi Pembebasan di masa lalu, dan perbedaannya di masa kini menanggapi relevansi Teologi pembebasan pada masa kini yang man konteks Teologi pembebasan pada masa itu tidak melihat tantangan di masa yang akan datang. Gutiérrez menilai bahwa Teologi pembebasan saat ini telah Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 185. Ibid., 185. Ivan Petrella, The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto, 1st ed. Routledge, 2017. Ibid. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 21 memasuki periode baru. Gutiérrez juga berpandangan bahwa Teologi tentu membawa tanda waktu, dan konteks eklesial di mana teologi tersebut dilahirkan. Mereka hidup sejauh kondisi yang melahirkan mereka tetap ada. Teologi-teologi yang pernah ada dapat mengatasi berbagai tantangan, namun berjalannya waktu maka teologi tersebut pun akhirnya tunduk dengan waktu yang ada. Kita merujuk, tentu saja, ke mode tertentu dari suatu teologi rangsangan langsung, instrumen analitis, gagasan filosofis, dan lain-lain, bukan fundamental afirmasi tentang kebenaran yang diungkapkan. Ivan Petrella menyikapi pernyataan Gutiérrez dengan memberikan penilaian atas dirinya. Bagi Gutiérrez, dalam kasus teologi pembebasan tertentu, kebenaran esensial yang diungkapkan itu berkisar pada apa yang disebut opsi preferensial bagi kaum miskin. Pilihan untuk orang miskin adalah evangelikal secara radikal, dan dengan demikian merupakan kriteria penting untuk memisahkan gandum dari sekam dalam peristiwa mendesak, dan arus pemikiran kita hari ini. Perhatikan bahwa Gutiérrez membedakan kebenaran teologi yang diungkapkan dari sarana yang membawa kebenaran itu. Dengan demikian, ada perbedaan yang harus ditarik antara konten yang diungkapkan teologi pembebasan, dan alat sosioanalitik yang digunakan untuk menjelaskan konten itu. Mendiskreditkan mediasi tertentu tidak menyentuh opsi preferensial bagi orang miskin sebagai inti dari teologi demikian perlu melihat konteks Teologi Pembebasan pada masa lalu lalu, dan kepentingan Teologi pembebasan pada masa kini. Oleh karena itu, penulis akan menjabarkan penjelasan peran gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan dalam konteks kekinian. Gereja dan Teologi Pembebasan Batas-Batas Praksis Pembebasan Teologi Pembebasan merupakan konsep teologi yang berorientasi pada praksis yang mengupayakan keadilan, dan kesejahteraan bagi semua. Dalam konsep ini, Yesus yang datang ke dunia membawa kasih, dan keadilan-Nya bagi umat manusia. Berdasarkan poin tersebut teologi pembebasan hadir dalam solidaritas sosial sebagai refleksi kehadiran Kristus. Tujuan praksis pembebasan adalah baik dan mulia. Namun melihat dasar pemikiran Marxisme yang diterapkan terhadap iman Kristen dapat disadari pula bahwa ada banyak hal yang janggal dan menyimpang dari konsep Teologi Pembebasan. Konsep Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis dengan pengaruh pemikiran Marxisme cenderung salah dalam menafsirkan firman Tuhan yang diangkat sebagai dasar teologinya. Teologi Pembebasan tidak mengeluarkan kebenaran firman Tuhan untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia yang bermasyarakat, tetapi justru mengambil konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan mencocok-Ibid., 3 Ibid. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 22 kannya atau mengaitkannya dengan ayat-ayat Alkitab yang dianggap mendukung konteks. Jika titik tolak teologi salah, maka penguraiannya pun adalah salah. Teologi alkitabiah haruslah bertolak dari Alkitab, bukannya memanipulasi ayat-ayat tertentu agar selaras dengan tindakan. Pandangan Teologi Pembebasan yang mengizinkan penggunaan kekerasan akan berlawanan dengan pengajaran Yesus yang cinta damai. Dengan demikian perspektif teologi pembebasan mengizinkan gereja untuk mengupayakan segala cara, bahkan kekerasan sekalipun untuk dapat menciptakan masyarakat yang tanpa kelas, dan stratifikasi. Hal itu dapat menyebabkan kehidupan gereja tidak selaras lagi dengan firman Tuhan karena telah menjadi serupa dengan dunia. Gereja tidak lagi menjadi terang dan menerapkan kasih yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peran gereja dalam menerapkan nilai-nilai Teologi Pembebasan dengan cara Allah bertindak, dan bukan dengan sekehendak manusia. Sebab Allah menghendaki perdamaian. Praksis dilihat sebagai satu-satunya jawaban terhadap masalah-masalah sosial, bukannya pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam gereja menerima konsep Teologi pembebasan tanpa evaluasi kritis terhadapnya, maka gereja akan mengalami kekacauan teologi, dan penyimpangan doktrin dari apa yang dicatat dan diajarkan oleh Alkitab. Penerapan Teologi Pembebasan didasarkan pada eksegesis firman Tuhan, dan bukan pemahaman manusia yang dilegalkan dengan firman Tuhan. Untuk itu sebagai gereja haruslah melihat konsep Teologi Pembebasan secara kritis dan menentukan batas-batas praksis yang benar dari model teologi ini. Peran gereja untuk menyikapi pengaruh Teologi Pembebasan yang positif dan negatif. Pengaruh positif yaitu dimana gereja tidak diam melihat realitas sosial yang tidak adil, dan sejahtera yang terjadi di sekitar kehidupan bermasyarakat. Sementara pengaruh negatif adalah ketika gerakan Teologi Pembebasan ini memaksakan pahamnya untuk menolong yang tertindas sekalipun bertentangan dengan pemerintahan, dan menciptakan situasi masyarakat yang tidak damai. Bila Teologi Pembebasan berpandangan bahwa realitas sosial yang penuh konflik tidak dapat membuat kita melupakan persyaratan kasih universal yang tidak mengenal batasan kelas sosial, ras, atau gender. Penegasan bahwa pribadi manusia adalah agen nasibnya sendiri dalam sejarah harus dibuat sedemikian rupa sehingga inisiatif seenaknya dari Allah dalam proses penyelamatan - yang merupakan akhir dari evolusi historis umat manusia - dapat dengan jelas terlihat. Sesungguhnya, karunia Allah "yang mengasihi kita lebih dahulu" 1 Yoh. 419 membingkai dan memunculkan kemanusiaan sebagai respons bebas terhadap kasih itu. Dengan kutipan ayat 1 Yohanes 419 bahwa Allah mengasihi kita lebih dahulu maka wajib untuk mengasihi saudara kita sesama Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasa, 190. Ibid. Gustavo Gutiérrez and Gerhard Ludwig Müller, On the Side of the Poor The Theology of Liberation Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 23 manusia. Namun kasih Allah adalah inisiatif Allah bukan perbuatan kasih menusia terhadap sesamanya. Bila manusia mengupayakan kasihnya dengan kekuatannya maka kasih Allah bisa menjadi sama dengan kasih manusia. Hal positifnya bahwa pandangan Teologi Pembebasan memberikan kebebasan untuk menyatakan kasih kepada semua manusia tanpa melihat perbedaan. Dalam gereja masa kini mungkin sulit menyatakan kasih seperti itu bila tidak ada kasih Allah yang telah mengasihi gereja lebih dahulu. Hal yang lain adalah mengapa kaum borjuis dan kaum miskin menunjukkan gap yang luas dan memberikan perbedaan yang nyata dalam agama sebagai legalitas dan gereja sebagai organisasi, maupun organisme. Inilah yang membuat keterkaitan kuat paham Marxisme dan Teologi Pembebasan. Marxisme dan Teologi Pembebasan pada dasarnya sama-sama mengutuk agama yang melanggengkan status quo dan yang membenarkan kekuasaan kaum borjuis yang Pembebasan juga menyuarakan kritik tegas terhadap kehidupan gereja di masa lampau yang memihak kepada kaum borjuis atau kapitalis yang menindas kaum miskin. Konteks gereja di Indonesia bisa diupayakan dalam konteks berkeadilan sosial bagi seluruh warga gereja dan sesama manusia sebagai warga negara Indonesia. Gereja tidak hanya menjadi organisasi, namun organisme yang menyuarakan pembebasan Kristus atas dosa, kutuk, dan kasih kepada sesama yang didasarkan pada kasih Allah yang hidup dalam orang percaya, dan gereja-Nya. Kemunculan Teologi Pembebasan membawa perubahan gereja yang diinsafkan bahwa keadaan hidup bergereja bukan semata-mata sebuah hierarki tetapi umat Allah. Gereja tidak diutus ke dalam dunia untuk memusingkan soal-soal stratifikasi dalam gereja dan masyarakat atau mempertahankan survivalitas akan keistimewaan kelas yang duniawi, tetapi menjadi terang bagi dunia yang gelap. Hal penting lainnya adalah bahwa Teologi Pembebasan memberitakan panggilan kepada gereja untuk menyatakan kasih kepada sesama sebagai wujud dari teologi yang berdasarkan firman diingatkan untuk tidak sekadar berfokus kepada pembangunan gedung gereja atau disibukkan dengan hal-hal internal gereja, tetapi melakukan hal yang lebih utama yaitu menjadi saksi Kristus bagi masyarakat di sekitarnya. Hal-hal ini merupakan sumbangsih positif dari Teologi Pembebasan kepada kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Untuk itu gereja perlu untuk memahami bahwa Teologi Pembebasan haruslah digunakan atau diterapkan dengan kacamata Alkitab, bukan pemikiran Marxisme. Artinya adalah bahwa batas-batas praksis Teologi Pembebasan ditentukan oleh apa yang dilarang, dan diamanatkan Allah melalui firman-Nya. Segala konsep yang bertentangan dengan firman Allah harus dibuang, sementara praksis-praksis atau pemikiran-pemikiran yang selaras dengan firman Allah haruslah Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 31. Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 190. Ibid., 190. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 24 diterapkan dalam kehidupan bergereja, dan bermasyarakat sebagai warga negara Indonesia. Kristus Sebagai Teladan Gereja dan Pembebasan-Nya Teladan sempurna bagi gereja dalam menapaki perjalanan hidup di dunia adalah Yesus Kristus. Kristus sebagai teladan adalah bahwa gereja harus menjadi serupa dengan Kristus. Keteladan Kristus mencakup segala hal yang baik dan seturut kehendak Allah, tidak terkecuali dalam kaitan dengan konsep Teologi Pembebasan. Dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia, Yesus memilih untuk lahir dari keluarga sederhana, dari kaum yang terkecil diantara kaum-kaum Yehuda. Bahkan kelahiran-Nya bukanlah di istana atau rumah yang megah, tetapi justru di kandang domba. Meninjau pada perjalanan kehidupan Yesus ketika hidup sebagai manusia di dunia, dapat pula dilihat bahwa Yesus turut menerapkan praksis pembebasan. Dalam kehidupan pelayanan-Nya, Dia senantiasa memperhatikan kehidupan orang-orang termarjinalkan, miskin dan tertindas. Ia menyembuhkan orang sakit serta memberi makan orang yang kelaparan. Yesus menyatakan keadilan dan kasih Allah bagi dunia secara konkret Lih. Luk. 418-19. Yesus tidak semata-mata menjanjikan keselamatan surgawi tetapi juga berkarya untuk membebaskan manusia dari belenggu penderitaan di dunia, yang antara lain disebabkan oleh kemiskinan; dengan demikian Yesus menjadi pembebas bagi kaum miskin yang yang harus diingat adalah bahwa pelayanan kasih yang dilakukan Yesus tersebut tidaklah menggantikan pemasyhuran Injil. Pelayanan kasih tersebut justru menyertai pemasyhuran Injil. Dalam Matius 1413-21 dapat dilihat bahwa Yesus tidak hanya peduli dengan kebutuhan rohani orang banyak, tetapi juga kebutuhan jasmani mereka. Selain memberitakan firman Yesus juga memberi mereka makan ketika mereka lapar. Lebih dari lima ribu orang dikenyangkan oleh makanan rohani maupun makanan jasmani dari Yesus. “Pemasyhuran Injil harus dilakukan dengan pelayanan firman dan pelayanan kasih, dengan firman dan perbuatan.” Terkait hal tersebut kehadiran Yesus di dunia ini menghadirkan keduanya sekaligus yaitu pemasyhuran Injil dan kasih-Nya. Gereja hadir untuk menyatakan keselamatan roh oleh Injil, dan keselamatan jasmani oleh perbuatan baik orang percaya melalui komunitas gereja. Praksis Teologi Pembebasan seharusnya menjadi bagian dari hidup bergereja. Praksis pembebasan itu berorientasi pada keteladanan pembebasan yang dilakukan oleh Yesus. Peran gereja berfokus pada pembebasan Yesus atas belenggu dosa, dan dampaknya mengasihi Allah, dan mengasihi manusia. Gereja harus peka terhadap isu-isu atau gejala-gejala sosial di sekitarnya. Gereja harus menjadi garam dan terang bagi dunia. Juga bahwa praksis-praksis pembebasan – berupa kontribusi gereja untuk Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara Satu,” Orientasi Baru 23, no. 1 April 2014 22, diakses 25 Januari 2019, Harun Hadiwijono, Iman Kristen Jakarta BPK Gunung Mulia, 2016, 387. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 25 menolong orang-orang miskin, tertawan dan tertindas – tidaklah boleh mengabaikan pemashuran Injil. Gereja tidak boleh melupakan tugas panggilannya untuk memberitakan berita Injil bagi dunia. Gereja juga harus menginsafi bahwa segala kontribusinya dalam masyarakat bukanlah supaya mendapat pengakuan dari dunia, melainkan semata-mata supaya Allah dimuliakan, seperti halnya yang Yesus lakukan. Chris Houson mengungkapkan bahwa kehadiran Teologi Pembebasan untuk mengkritik keadaan gereja dengan pertanyaan, dan menantang cara pandang gereja dalam menyikapi relasi gereja dengan hadir di muka bumi untuk menjadi saksi Kristus. Gereja tidak hadir untuk memberi beban, namun berbelas kasihan akan dunia melalui kasih Kristus. Hengki Wijaya dalam tulisannya Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan di dalam Kekristenan menyimpulkan bahwa “Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan Mat. 513-16;Yak. 214- 26.”Selanjutnya sikap orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman yang diberitakan. 4. Kesimpulan Teologi Pembebasan senantiasa berorientasi pada praksis pembebasan kepada kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Namun demikian pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan. Hal ini tentu bukan suatu hal yang baik. Apalagi oleh pemikiran Marxsis tersebut Teologi Pembebasan menjadi tidak ubahnya seperti ideologi komunis bahkan radikalis yang sama sekali tidak sesuai dengan firman Tuhan. Teologi Pembebasan sejatinya baik untuk diterima dan diterapkan oleh gereja. Untuk itu Teologi Pembebasan harus ditundukkan pada terang Alkitab, sehingga tidak lagi terpengaruh oleh pemikiran Marxisme yang bertentangan dengan Alkitab tetapi Teologi Pembebasan menjadi seruan positif yang menginsafkan gereja untuk tidak sibuk dengan urusan diri sendiri tetapi senantiasa menyatakan kasih Kristus di tengah-tengah hidup bermasyarakat. Peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan bukan berdasarkan konteks sejarah lahirnya teologi ini di masa lalu, melainkan nilai-nilai akitabiah yang diterapkan, dan dimplikasikan secara praktis di dalam gereja, dan masyarakat melalui kasih Allah yang membebaskan, dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Chris Howson, A Just Church 21st century Liberation Theology in Action NY Continuum International Publishing Group, 2011, x. Hengki Wijaya, “Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan,” diakses 2 Februari 2019, BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 26 Referensi Agusta, Ivanovich. Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. Brown, Robert McAfee. Gustavo Gutierrez An Introduction to Liberation Theology. Eugene, Oregan Wips and Stock Publisher, 2013. Buntu, Ivan Sampe. “Membaca Teks Dalam Pandangan Poskolonial Catatan Kritis Atas Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci.” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 1, no. 2 2018 179–190. Cavanaugh, William T., Peter Manley Scott ed.. Wiley Blackwell Companion to Political Theology. USA John Wiley & 2019. Gorringe, Tim. “Cult books revisited Gustavo Gutierrez‟s A Theology of Liberation.” Theology 120, no. 4 2017 246-252. Gutiérrez, Gustavo. A Theology Of Liberation History, Politics, And Salvation. Maryknoll, Orbis, 1973. Gutiérrez, Gustavo, and Gerhard Ludwig Müller. On the Side of the Poor The Theology of Liberation. Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2016. Jati, Wasito Raharjo. “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama.” Walisongo 22, no. 1 Mei 2014 133-156. Diakses 24 Januari 2019. Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang Gandum Mas, 2004. Mali, Mateus. “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan.” Orientasi Baru 25, no. 1 April 2016 19-36. Diakses 22 Januari 2019. Howson, Chris. A Just Church 21st century Liberation Theology in Action NY Continuum International Publishing Group, 2011. Natalie. “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan.” Veritas 1, no. 2 Oktober 2000 181-191. Petrella, Ivan. The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto. 1st ed. Routledge, 2017. Accessed March 29, 2019. Sendjaja, Hendri Mulyana. “„Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas‟ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia.” Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia, Jakarta STT IKAT, 2018. Sigmud, Paul E. Liberation theology at the crossroads democracy or revolution? New York Oxford University Press, Inc, 1990. Timmerman, Bobby Steven. “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara Satu.” Orientasi Baru 23, no. 1 April 2014 17-29. Diakses 25 Januari 2019. Wijaya, Hengki. “Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan.” Diakses 2 Februari 2019. Wijaya, Hengki. Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi. Makassar Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2018. Zaluchu, Sonny Eli. Sistematika Riset dan Analisis Data Kuantitatif. Semarang Golden Gate Publishing, 2018. Theodorus MirajiFelicia Irawaty2020 is a tough year for humans due to the Covid-19 pandemic which has attacked all sides of human life. One of the most affected is the human mentality, and this mentality must be restored so that in the post-pandemic era, humans can be active and do everything as before. The church also has a duty to carry out this and the church has teachings that can be given to humans in general and Christians in particular as material for healing, one of which is eschatology which relates to the teachings of Postmillennialism. The method of this research is descriptive method with literature study techniques. Some of the characteristics of Postmillennial teachings are First, Postmillennialists believe that what mankind is waiting for, namely the coming of God's reign, has actually started since the first coming of Jesus. Second, the 1000 year reign is led by Jesus through the church and Third, Postmillennialism believes in the central role of the gospel. From these characteristics, the Postmillennial Viewpoint can contribute to raising hope for the future and as material for Christian Counseling / Pastoral Assistance, contributing to encouraging churches to be actively involved in human life, Postmillennialism Views Encourage evangelism as a human need in the post-pandemic eraSangkot Siraitp>This paper tells the thoughts of two religious figures who are concerned with talking about religion and humanity. These two figures are Abdurrahman Wahid and Gustavo Gutiérrez. The question that will be answered here is how the concept of the liberation of the two figures and where the difference lies and their implications for real life. The issues discussed here are related to theology, more popularly called liberation theology. The method used in this research is to read and examine the work of each of the two figures, both works that are called primary or secondary. After that, the concepts are compared according to their respective contexts. From the results of research on their works, an understanding is obtained that the theology of liberation is inspired by the real conditions of society that are of concern, both in terms of poverty and opportunity. Therefore, according to the two figures, religion must be able to solve the problem, it means that religion practised not only as a doctrine but also humanity. Action work of people who profess religion is needed to solve community problems. There are differences in the approaches of the two figures, namely Gutiérrez is more focused directly involved, while Wahid besides being directly involved, but also with a cultural approach and changing the way people think. The difference between the two approaches has implications for the process of change, namely Gutiérrez is more revolutionary mechanistic, while Wahid is more cultural and evolutionary This paper explains the role of the public sphere based on Jurgen Habermas’s concept and analyzes its relevance for multicultural societies in the Indonesian Context. The public sphere exists to present democracy, tolerance, friendship, inclusivism in diversity, unity in diversity, and education. Indonesia is a country that reflects multiculturalism, can realize peace and unity within a multicultural frame. This article was developed using the Systematic Literature Review SLR method. This paper explains the role of public space based on Jurgen Habermas for interdisciplinary scholarship and its relevance. His findings show Jurgen Habermas's approach through the public sphere can bring about unity and peace in all aspects of life, including differences in beliefs and multicultural contexts. Teknologidalam Perkembangan Gereja pada Masa Kini di Era Revolusi Industri 4.0 Itu sebabnya di dalam Perjanjian Baru rasul Yohanes mengajarkan bahwa 'Allah itu kasih'. Allah tidak 'memiliki' kasih, Allah itulah kasih adanya (God does not have love, God is love). Messi, Salah, dan Mane Raih Gelar Perdana di Musim 2022/2023 Info dari
ArticlePDF Available AbstractThe relationship between evangelism and social care is a hot topic that is still being debated. Some argue that the Church should only work on evangelism, that is, on eternal salvation spiritual matters, not on social issues. Others are of the view that working on social issues is a means for the purpose of evangelizing. By using a descriptive qualitative approach, this article is intended firstly to show that the mission of the Church is an integrative-holistic mission covering the field of evangelism and social service. The two are united in Missio Dei. Second, in order to attract reflections for churches everywhere, it is necessary to reconstruct the paradigm and implementation of the Church's mission in the present. The results of the discussion conclude that the Church's mission should be integrative-holistic. This means that the Church does not separate dualism between evangelism and social care. The integrative-holistic mission is considered very relevant and needed as an answer to bring the gospel of Jesus Christ into reality and at the same time can alleviate the problems or conditions of the society in which the Church is located. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Copyright© 2021 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 105 ISSN Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi Gereja di Indonesia Masa Kini Kalis Stevanus Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu, Jawa Tengah kalisstevanus91 Abstract The relationship between evangelism and social care is a hot topic that is still being discussed. There are those who argue that the church should only work on evangelism, which is about eternal salvation spiritual field only, not on social issues. There are also those who view working on social issues as a means to the end of evangelism. By using a descriptive qualitative approach, this article has two purposes. First, to show that the church's mission is an integrative-holistic mission covering the field of evangelism as well as social service; they are one unit in the Missio Dei-Christi. Second, to draw reflections for churches everywhere, it is necessary to recon-struct the paradigm and implement the church's mission in the present. The results of the discussion conclude that the church's mission should be holistic-integrative. That is, the church does not separate dualism between evangelism and social care. The integrative-holistic mission is considered to be very relevant and needed as an answer to make the gospel of Jesus Christ a reality, and at the same time it can solve problems or conditions in the community where the church is existed. Keywords church’s mission; evangelism; integrative-holistic mission; missio Dei Abstrak Hubungan antara pekabaran Injil dan kepedulian sosial merupakan topik yang hangat hingga kini masih didiskusikan. Ada yang berpendapat bahwa gereja seharusnya hanya menger-jakan pekabaran Injil, yaitu perihal keselamatan kekal bidang rohani saja, bukan pada isu-isu sosial. Ada juga yang berpandangan bahwa mengerjakan isu-isu sosial itu sebagai sarana bagi tujuan pekabaran Injil. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, atikel ini dimak-sudkan pada dua hal. Pertama, untuk memperlihatkan bahwa misi gereja adalah misi integratif-holistik meliputi bidang pekabaran Injil dan juga pelayanan sosial; keduanya merupakan satu kesatuan dalam Missio Dei-Christi. Kedua, untuk menarik refleksi bagi gereja-gereja di manapun berada, perlunya melakukan rekonstruksi paradigma dan implementasi misi gereja di masa sekarang. Hasil bahasan memberi simpulan bahwa semestinya misi gereja bersifat integratif-holistic. Maksudnya, gereja tidak memisahkan dualisme antara pekabaran Injil dan kepeduli-an sosial. Misi integratif-holistik dianggap sangat relevan dan dibutuhkan sebagai jawaban untuk mewujudkan Injil Yesus Kristus menjadi realitas, dan sekaligus dapat mengentaskan persoalan atau kondisi masyarakat di mana gereja berada. Kata kunci misi gereja; misi integratif-holistik; missio Dei; penginjilan PENDAHULUAN Sejarah mencatat pada abad XX kaum Evangelikal banyak yang telah kehilangan perspektif Alkitab dan membatasi diri hanya pada pekabaran Injil tentang keselamatan pribadi tanpa keterlibatan yang cukup dalam tanggung jawab sosial. Ketika Liberalisme teologi dan Humanisme menyerbu gereja-gereja Protestan, dan mengumumkan suatu “Injil sosial”, berkembang keyakinan di antara kaum Evangelikal bahwa ada sebuah e-ISSN 2722-8215 p-ISSN 2477-1373 Volume 7, No 2, Juni 2021 105-115 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 106 antitesis antara keterlibatan sosial dan pekabaran Injil. Namun, sekarang kaum Evangelikal semakin yakin bahwa mereka harus melibatkan diri di dalam masalah-masalah sosial yang dihadapi manusia tanpa “mengecilkan” prioritas pekabaran Injil tentang keselamatan individu. Mereka prihatin akan kebutuhan manusia yang seutuh-nya karena teladan Yesus Kristus, kasih-Nya yang mendorong, dan tantangan dari wa-risan Injili mereka. Terkait hubungan antara penginjilan dan isu-isu sosial, Stevri Lumintang mengu-tip salah satu dari empat harapan Billy Graham, dalam acara pembukaan konsultasi misi Internasional sedunia di Lausanne, Switzerland tahun 1974, yang menetapkan hu-bungan antara penginjilan dan tanggung jawab kaum Evangelikal kini mulai memandang misi secara integratif dan holistik. Misi bukan hanya dipahami sebagai penginjilan keselamatan individu dan pertumbuhan gereja, melainkan juga misi adalah tanggung jawab sosial, yaitu sebagai upaya terlibat dalam berbagai per-soalan sosial dan kemanusiaan yang diawali oleh usaha penginjilan. Krisis yang dialami gereja pada masa kini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan penting-nya suatu usaha membangun kembali pemahaman misi gereja. Menurutnya usaha untuk membangun kembali konsep dan pemahanan mengenai misi menjadi relevan, karena misi gereja saat ini sedang mengalami semacam krisis. Banyak Gereja terpe-rangkap dalam sikap eksklusif dan hidup untuk dirinya sendiri saja, dengan kesibukan-kesibukan di/ke dalam, untuk kepentingan anggota-anggotanya tanpa keterlibatan yang cukup dalam tanggung jawab konteks di Indonesia kenyataan semangat eksklusif usaha Pekabaran Injil ini dilaksanakan tidak mempertimbangkan konteks masyarakat Indonesia. Konteks Indonesia yang pluralis dan diwarnai dengan pelbagai masalah seperti kemiskinan be-lum mendapat tempat dan perhatian dalam pemahaman dan semangat “misi eksklusif”, yang diwarisi gereja-gereja Indonesia. Bila sikap dan semangat yang eksklusif itu tetap dipertahankan, maka misi gereja di Indonesia dapat dikatakan sedang dalam krisis. Paling tidak krisis dalam pemahaman yang pada gilirannya sangat memengaruhi pelaksanaan misi gereja. Padahal, tampak jelas dari teladan dari pelayanan Tuhan Yesus yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, bukan sekadar misi eksklusif me-lainkan sudah cukup banyak gereja di Indonesia yang menerapkan misi integratif. Namun, sepertinya usaha tersebut perlu ditingkatkan dan diintensifkan Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Sedunia Jakarta BPK Gunung Mulia, 2012,198. Stevri Lumintang, Misiologia Kontemporer Batu Malang YPPII, 2006,25 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia Yogjakarta Taman Pustaka Kristen, 2008,5 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2008, 8 Yang dimaksudkan misi eksklusif adalah usaha misi yang hanya menekankan Pekabaran Injil dengan tujuan pertambahan jumlah orang Kristen. Kalis Stevanus, "Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”, Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 2 2018 284–298. Kalis Stevanus dan Yunianto, “Misi Gereja Dalam Realitas Sosial Indonesia Masa Kini,” HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen no. 1 2021 55–67. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 107 guna mewujudnyatakan Injil dalam realitas. Gereja hadir menjadi garam dan terang di tengah-tengah masyarakat. Situasi pluralis di Indonesia juga seharusnya mendorong gereja-gereja menguji ulang pemahaman dan sikap missionernya. Gereja di Indonesia harus menghadapi kenyataan dan bergaul dengan orang-orang beragama lain dalam jumlah yang makin berkembang. Dan juga menghadapi maraknya sikap intoleransi dan kekerasan anar-kis. Selain itu juga, dalam bidang sosial-ekonomi, terjadinya kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Arifianto dan Stevanus menyatakan bahwa kenyataan ini “harus” mengubah paradigma dan praktik misi Kristen dari gereja di Indonesia. Menghadapi situasi seperti sekarang ini, dalam situasi pandemi Covid-19, gereja dipanggil untuk menjadi berkat dan kesaksian bagi dunia, sebab gereja adalah terang dan garam dunia Mat. 513-16. Dengan demikian, gereja seharusnya meman-dang pendemi Covid-19 bukan sebagai penghalang misi gereja, sebaliknya sebagai “peluang” untuk menerapkan misi Allah untuk menjangkau mereka yang menderita dengan memerhatikan situasi sosial di tengah di Indonesia dan misinya tidak dapat berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Misi Gereja juga ditantang untuk dipahami secara baru dalam konteks sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Bagaimana menunaikan tugas panggilan misi dari Tuhan dalam konteks Indonesia? Gereja-gereja di Indonesia perlu mengenali dan berminat untuk memandang misi secara kontekstual. Mungkin tidak semua Gereja, tapi sebagian besar Gereja di Indonesia masih melihat dan memahami Gereja sebagai lem-baga kerohanian saja yang tidak perlu mengurusi soal-soal “duniawi”, umpamanya masalah-masalah sosial, ekonomi, korupsi, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagaianya. Nampak pemisahan antara yang rohani dan yang jasmani atau duniawi serta segala implikasinya sehingga telah menumbuhkan misi eksklusif di mana Gereja hanya berurusan dengan soal-soal rohani saja. Ini merupakan salah satu sumber krisis dalam pemahaman dan praktek misi. Caspersz, sebagaimana dikutip Woga, menegaskan bahwa pemisahan total kehi-dupan rohani religious dari urusan-urusan duniawi bertentangan dengan eksistensi manusia yang multidimensional, yang temporal kodrati/sekular dan trans-temporal adikodrati, dan karenanya merongrong keseimbangan hidup serta keberadaan ma-nusia dan yang sama diutarakan oleh Lumintang, bahwa penekanan pada salah satu sisi, pasti membuahkan pemikiran yang sempit dan berat sebelah, yaitu Kalis Stevanus, “Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menurut Lukas 1025-37 Sebagai Upaya Pencegahan Konflik,” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, no. 1 2020 1–13. Yonatan Alex Arifianto and Kalis Stevanus, “Membangun Kerukunan Antarumat Beragama Dan Implikasinya Bagi Misi Kristen,” HUPERETES Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 2020 39–51. Yonatan Alex Arifianto; Sari Saptorini dan Kalis Stevanus, “Pentingnya Peran Media Sosial Dalam Pelaksanaan Misi Di Masa Pandemi Covid-19,” HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, no. 2 2020 86–104. Edmund Woga, Misi, Misiologi, Dan Evangelisasi Di Indonesia Yogyakarta penerbit Kanisius, 2009,184 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 108 misi yang tidak relevan dengan kebutuhan dunia. Inilah persoalan misiologi pada masa kini, yaitu mempertemukan secara integratif antara teks, konteks dan yang berat sebelah atau dualisme ini sangat tidak relevan dalam konteks Indonesia. Gereja menjadi alergi dan tidak mau berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan sebagainya karena menganggap semua itu bukan urusan gereja. Bila gereja menyuarakan pandangan berkaitan dengan ketidakadilan, HAM, korupsi, dan masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi di sekitarnya, maka Gereja semacam itu akan dianggap “keluar dari panggilannya”. Penulis menyebut ini sebagai krisis misi intern. Gejala ini dalam intern gereja nampak dalam praktek misi yang hanya berurusan dengan soal-soal rohani saja, yaitu memenangkan jiwa, atau dengan kata la-in, misi dengan arah “mengkristenkan” Indonesia. Pemahaman misi yang kurang memerhatikan konteks sosial di mana gereja hadir, hal ini justru sangat melemahkan posisi dan peranan gereja di Indonesia. Itu sebabnya pemahaman misi gereja masa kini harus diubah menjadi misi Kerajaan Allah yang mempunyai cakupan luas, yakni meliputi semua bidang kehidupan manusia atau holistik. Sebab itu, gereja tidak boleh melalaikan peran aktifnya di bidang sosial, sehingga memberikan pengaruhnya yang positif terang dan garam dalam kehidupan sosial di masyarakat. Terkadang gereja atau orang Kristen secara salah memahami misi gereja hanya berkenaan dengan kerohanian personal dan tidak berkenaan dengan kehidupan sekular, sehingga tidak merasa berkewajiban untuk memikirkan tanggung jawab sosialnya. Sejatinya misi gereja terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang sosial. Itu sebabnya gereja tidak bisa tidak memerhatikan dan meng-usahakan kehidupan sosial yang lebih baik bagi masyarakat di mana Gereja berada. Pelayanan secara komprehensif, yakni pelayanan holistik, sangat relevan dan di-butuhkan sebagai jawaban untuk mewujudkan Injil Kerajaan Allah menjadi realitas dan sekaligus dapat mengentaskan persoalan atau kesulitan-kesulitan kehidupan yang dia-lami masyarakat di mana gereja berada saat ini. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa misi integratif yang sifatnya holistic merupakan dimensi pelayanan misi gereja yang perlu dilakukan. Tidak cukup dengan doa; artinya, segala pergumulan jemaat mau-pun masyarakat, tidak cukup diatasi hanya dengan didoakan. Membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi dibutuhkan tindakan lain selain doa, yaitu pelayanan holistik yang akan membawa sejahtera dalam kehidupan individu maupun masyarakat, sehingga terwujudlah peradaban shalom. Karena selama ini misi yang dilakukan gereja pada umumnya masih bersifat dualisme dan bukan suatu keutuhan holistik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pentingnya perubahan para-digma dan praktik misi gereja, khususnya di Indonesia. Misi gereja harus tetap dila-kukan sebagai bentuk ketaatan pada Amanat Agung Kristus. Namun dalam praktik Lumintang, Misiologia Kontemporer, 44 Stevanus, “"Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”.” Istilah “sekular" berasal dari bahasa Latin “saeculum” yang berarti dunia. Kata sifat dari “saeculum” adalah kata “sekular” Latin saecularis yang artinya bersifat duniawi. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 109 pelaksanan misi harus memerhatikan situasi sosial di tengah masyarakat di mana ge-reja berada, sehingga Injil dapat diterima sesuai konteks kekinian pendengarnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatit deskriptif dengan metode pustaka. Metode pustaka untuk menjawab permasalahan penelitian dengan mencari sumber-sumber literatur yang relevan dengan topik bahasan tentang misi gereja masa kini. Data-data tersebut dianalisis dengan mencermati beberapa teks Alkitab, dan kemudian mendeskripsikan hasil analisis tersebut secara naratif. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini akan dipaparkan pokok-pokok penting untuk menjawab tujuan penulisan, yaitu Pertama, mengemukakan landasan teologis misi Kristen; kedua, men-jelaskan suatu kenyataan adanya pergeseran paradigma misi gereja di masa sekarang; ketiga, merefleksikannya bagi gereja masa kini. Landasan Teologis Misi Kristen Sesudah kebangkitan, sebelum naik ke surga, Tuhan Yesus memberi perintah agar para murid-Nya memberitakan Injil kepada semua suku bangsa Mat. 2819-20. Roh Kudus diberikan kepada semua murid-Nya dan memberi mereka kuasa untuk menjadi saksi Kristus di mana pun mereka berada Kis. 18 sampai ke ujung bumi Mat. 2414.Alkitab secara gamblang menyatakan bahwa semua orang percaya diberi “mandat” untuk melaksanakan Pekabaran Injil kepada semua bangsa. Mandat ini sering disebut sebagai Amanat Agung Mat. 2818-20; Mrk. 1615; Luk. 2447; Yoh. 2021; Kis. 18. Semua orang percaya, tanpa kecuali, dipanggil untuk menaati perintah misioner menjelaskan kata “pergilah” poreuthentes di dalam perintah Matius 2819 itu memiliki arti berangkatlah atau pergi meninggalkan, melintasi batas sosial, rasial, kultural, ini berarti misi Tuhan Yesus adalah misi yang sifatnya inklusif, artinya terbuka untuk semua orang tanpa mengenal latar belakang ini juga dikemukan oleh David Bosch, bahwa sifat misi Tuhan Yesus adalah inklusif. Misi-Nya adalah misi yang melenyapkan keterasingan dan menghancurkan tembok-tembok kebencian, misi yang melintasi batas-batas antara individu dan demikian, sangat jelas bahwa amanat Tuhan Yesus adalah kesaksian. Dan kesaksian itu tidak dibatasi hanya untuk Israel, melainkan diberitakan ke seluruh dunia. Dan kuasa yang diperlukan untuk itu bukan kuasa militer atau politik melainkan kuasa Roh Kudus! Gereja diutus untuk mengundang orang dari semua suku dan bangsa agar Kalis Stevanus, Panggilan Teragung Pedoman Dan Metoda Praktis Untuk Memberitakan Kabar Baik Sampai Ke Ujung Bumi Yogyakarta Andi Offset, 2019,79. Kalis Stevanus, “Karya Kristus Sebagai Dasar Penginjilan Di Dunia Non-Kristen,” Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 1 2020 1–19. Susanto Dwiraharjo, “Kajian Eksegetikal Amanat Agung Menurut Matius 28  18-20,” Jurnal Teologi Gracia Deo 1, no. 2 2019 56–73, Lumintang, Misiologia Kontemporer, 113 David Bosch, Transformasi Misi Kristen Jakarta BPK Gunung Mulia, 2006,41 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 110 menjadi murid Tuhan Yesus Mat. 2819. Menjadikan murid, artinya menjadikan semua orang di mana pun mereka berada dan siapa pun mereka untuk mengikuti menyatakan, sebenarnya sebelum Amanat Agung di dalam Matius pasal 28, telah ada kontak antara Tuhan Yesus dan bangsa-bangsa lain. Juga sebelum kebang-kitan-Nya, menjadi jelas bahwa maksud tujuan Allah meliputi segala bangsa. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Lama, di mana Abraham dipilih untuk menjadi berkat bagi segala bangsa Kej. 121-3. Dalam kehidupan Tuhan Yesus, perspektif ini nyata, di ma-na titik tolak pelayanan Tuhan Yesus disebut kota Kapernaum, yang terletak di “Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain” Mat. 413-16. Galilea adalah merupakan daerah Yahudi, tetapi bukan pusat daerah Yahudi seperti daerah Yudea dengan kota Yerusalem. Galilea dekat dengan daerah bangsa-bangsa yang bukan Yahudi. Kapernaum dan Galilea digambarkan oleh Matius sebagai tempat yang terbuka bagi manusia dari bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dan sesudah kebangkitan-Nya, terbukalah jalan bagi segala bangsa untuk menjadi bagian dari umat Allah Mat. 2818-20. Dengan demikian terpe-nuhilah pengharapan akan keselamatan bagi bangsa-bangsa seperti yang dinubuatkan oleh para nabi Yes. 22-3; bdk. Mi. 41-2; Za. 822-23.Tuhan Yesus, menurut Injil Sinoptik, memiliki perhatian yang cukup besar terha-dap misi kepada dunia bangsa-bangsa bukan Yahudi. Perhatian itu Ia wujudkan tidak hanya dengan memberitakan Injil Kerajaan Allah dan melakukan mujizat bagi orang-orang bukan Yahudi yang datang kepada-Nya, tetapi lebih dari itu Ia menyeberangi daerah Palestina dan memasuki daerah bangsa kafir untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah. Menurut Stevanus hal ini juga hendak menyatakan bahwa misi Tuhan Yesus datang ke dunia membawa keselamatan bagi semua bangsa. Ia adalah Juruselamat bagi semua orang dan yakni seluruh umat Tuhan, dipanggil untuk mene-ruskan perintah misioner memberitakan Kabar Baik sampai kepada kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Rekonstruksi Paradigma Misi Gereja Masa Kini dalam Konteks Indonesia Krisis dalam pemahaman dan praktek misi gereja yang penulis kemukakan secara singkat di atas merupakan titik tolak atau pijakan untuk secara kritis menemukan kem-bali pemahaman teologi mengenai misi gereja atau teologi misi yang relevan di Indo-nesia. Pemahaman misi gereja dari warisan masa lalu itu perlu direkonstruksi menjadi pemahaman baru misi baru yang kontekstual. Pembahasan ini merupakan kontribusi pemikiran teologis dan praktis dalam rangka rekonstruksi misi gereja di Indonesia yang dilakukan dalam suatu paradigma tertentu. Paradigma itu adalah paradigma misi yang relevan dengan konteks Indonesia. Sebuah tugas krusial bagi gereja di masa kini adalah menguji terus-menerus, apa-kah pemahamannya, atau paradigma tentang misi sesuai dengan konteksnya, di mana gereja itu hadir. Apa yang harus gereja lakukan adalah menetapkan apa arti misi, dan kemudian pada saat yang sama mendefinisikan praktik misioner atau mengaplikasikan konsep misi tersebut secara langsung di dalam situasi konkret sekarang. Sebagaimana Kalis Stevanus, Benarkah Injil Untuk Semua Orang? Yogyakarta Diandra Kreatif, 2017. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001,248 Kalis Stevanus, Lihatlah Sang Juruselamat Dunia Yogyakarta Diandra Kreatif, 2018, 13 Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 111 dikatakan oleh Artanto bahwa paradigma misi memengaruhi dan menentukan praktik misioner. Sebagai rumusan dari Thomas Kuhn yang kemudian dirumuskan dengan lebih singkat oleh Hans Kung, sebagaimana dikutip Artanto, paradigma misi dapat dirumus-kan sebagai model interpretasi dan pemahaman yang memengaruhi, bahkan menen-tukan keyakinan, dan nilai, serta teknik-teknik misi gereja yang dipahami oleh gereja-gereja sebagai suatu komunitas dalam era tertentu. Perubahan dan pergeseran misi gereja sangat ditentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma teologi Mempelajari pergeseran paradigma misi akan membantu usaha memahami bagai-mana gereja memahami dan melaksanakan misi dalam pelbagai era dalam konteks yang berubah-rubah. Selain hal itu, juga akan menolong gereja pada masa kini untuk memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana gereja pada masa kini harus memberi arti atau mengintrepretasikan misi pada masa kini dalam situasi konkret. Perbedaan itu terjadi karena masing-masing era melakukan refleksi teologis dengan paradigma yang telah bergeser dari paradigma yang digunakan oleh era sebe-lumnya. Paradigma misi seyogyianya terus diperbarui atau direkonstruksi untuk mengha-dapi konteks baru dan era baru. David Bosch menguraikan berbagai paradigma yang muncul belakangan dalam teologi misi, tentang paradigma misi gereja yang bagaima-nakah yang tepat atau relevan dengan konteks pada abad ke-21? Dikatakan oleh Anne Ruck, bahwa selama abad ke-20 misi Kristen telah diartikan kembali secara mendalam, sehingga pertanyaan Bosch tersebut menemukan jawaban dari sudut pandang abad ke-21 yang jauh berbeda dari konteks seratus tahun lalu. Dalam terang ini tantangan untuk memelajari misi dapat digambarkan dalam kata-kata van Engelen yang dikutip Bosch, misi dipahami sebagai usaha untuk menghubungkan peristiwa Yesus yang selalu relevan dari dua puluh abad yang lalu dengan pemerintahan yang dijanjikan Allah melalui inisiatif-inisitiaf yang bermakna untuk masa kini dan di dengan gereja-gereja Indonesia di masa sekarang? Dikatakan oleh Ruck, justru di abad ke-21 ini umat Kristen di Indonesia semakin tersingkir, tertindas, dan terancam. Bagaimana merespons situasi seperti ini? Bagaimanakah seharusnya gereja di Indonesia bersaksi dan bermisi dalam konteks Indonesia masa kini yang begi-tu majemuk dan terus berubah, dan yang harus menghadapi berbagai tantangan seperti bencana alam, kemiskinan, korupsi, konflik, dan kekerasan serta mengemukanya gejala intoleransi? Menghadapi situasi seperti itu, tidak ada cara lain selain memahami kembali konsep misi dan praktik misi yang sesuai di Indonesia sekarang. Itu sebabnya gereja-gereja di Indonesia pun harus perlunya melakukan rekonstruksi misi sebab pemahaman misi yang lama kemudian menjadi tidak relevan dalam konteks Indonesia sekarang ini. Pemahaman misi harus bersifat dinamis dan terbuka untuk dikoreksi atau mengalami rekonstruksi kembali, sehingga dihasilkan suatu pemahaman misi gereja Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Bosch, Transformasi Misi Dkk. Anne Ruck, Jemaat Misioner Jakarta Bina kasih/OMF, 2011,25 Bosch, Transformasi Misi Kristen, 35 Anne Ruck, Jemaat Misioner, 92 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 112 yang relevan dibutuhkan di tengah-tengah pluralitas intern gereja di Indonesia, dan juga di tengah pluralitas agama dan kebudayaan serta situasi kemiskinan yang men-colok di Indonesia. Benar apa yang dikatakan Artanto untuk konteks Indonesia, yang perlu mengem-bangkan pemahaman misi gereja dalam paradigma ekumenis, di mana gereja harus semakin terlibat dalam pengembangan manusia dan masyarakat yang seutuhnya. Pemahaman misi gereja dalam paradigma ekumenis merupakan “pertanggungjawaban” gereja-gereja Indonesia terhadap masyarakat dan bangsanya sendiri. Itu sebabnya, misi gereja tidak boleh mengabaikan konteks Indonesia dan kepentingan seluruh masya-rakat di Indonesia. Misi gereja sekarang dituntut untuk menyapa masalah masyarakat masa kini dengan segala pergumulan dan tantangan yang ada. Apakah gereja akan memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang ada? Apakah gereja sadar akan panggilannya supaya menjadi garam dan terang serta menjadi saluran berkat Tuhan kepada dunia? Misi yang konkret dan menyeluruh holistik misalnya berfokus pada pelayanan sosial-ekonomi dan pengembangan masyarakat sangatlah penting. Misi integratif, termasuk pelayanan sosial-ekonomi-keadilan dan juga pekabaran Injil keselamatan individu merupakan jawaban untuk konteks Indonesia masa kini. Petrus Octavianus mengemukakan, bahwa pelayanan holistik tidak hanya berusa-ha menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka sekarang ini. Jadi, pelayanan sosial pengembangan masyarakat itu juga merupakan bagian dari misi Kristen karena gereja diutus untuk melakukan hal-hal tersebut. Inilah misi yang sesungguhnya. Dari uraian ini, dapat disimpulkan peran gereja dalam pelaksanaan Missio Dei, bahwa hakikat misi gereja harus senantiasa melihat misinya terdiri dari tiga unsur utama. Pertama, prok-lamasi; gereja terpanggil untuk memproklamasikan Yesus Kristus kepada dunia. Kedua adalah kesaksian; gereja terpanggil untuk hidup seperti Kristus di dunia. Ketiga ialah pelayanan; gereja terpanggil melayani dan menjalankan aksi sosial dengan dasar kasih Kristus kepada dunia. Sejajar dengan itu, Mangunwijaya mengatakan bahwa gereja missioner di Indonesia harus didasari bahwa iman, pengharapan, dan kasih bukan hanya berlaku di dalam internal gerejawi, melainkan harus berdimensi luas menyentuh sendi-sendi kehi-dupan masyarakat secara konkret dan Pasaribu menegaskan, bahwa dengan melaksanakan misi integratif ini akan membawa gereja kepada pelayanan yang kokoh dan terintegrasi, dengan memproklamasikan kabar baik, dan sekaligus menun-jukkan kasih Allah secara konkret dalam pergumulan bangsa dan dunia. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia dalam rangka melaksanakan misi Allah tersebut? Gereja terpanggil untuk terlibat dalam menggumuli isu-isu sosial di Petrus Octavianus, Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah Batu Malang YPPII, 1985,34-35 Mangunwijaya, “Pengantar”, Dalam Kepedulian Sosial Gereja, R. Dopo Yogjakarta Kanisius, 1993,ix Dkk Ria Pasaribu, Jemaat Misioner Jakarta Bina kasih/OMF, 2011,313. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 113 tengah masyarakat di mana gereja hadir di situ. Keterlibatan itu termasuk dalam rangka misi mewujudkan Kerajaan Allah di bumi, tanpa mengecilkan prioritas pemberitaan Injil tentang keselamatan individu. Stevanus menyatakan bahwa motivasi misi Kristen bukan hanya menyelamatkan individu atau menambah jumlah anggota gereja, melain-kan untuk mewujudkan Kerajaan yang tidak mengandung aspek proklamasi Injil berarti misi tersebut telah be-rubah dan bergeser dari Missio Dei-Christi. Misi yang demikian telah kehilangan satu unsur yang esensial dan tidak lebih dari aksi sosial, seperti yang dilakukan oleh banyak lembaga sosial di dunia. Misi menjadi sekadar suatu usaha kepedulian sosial semata di mana lembaga sosial dunia bisa melakukannya. Tetapi Missio Dei-Christi dilakukan oleh lembaga Gereja saja sebab hanya Gereja yang diberikan mandat. Olehnya gereja harus bersaksi dan melayani serta melaksanakan Missio Dei-Christi dengan turut serta terlibat dalam kepedulian sosial. Missio Dei-Christi tidak mungkin dijalankan oleh gereja di Indonesia bila di dalam kehidupan gereja itu sendiri masih terdapat pandangan dua-listis yang memisahkan kehidupan gereja kerohanian dan masyarakat duniawi. Gereja harus membina anggota-anggotanya agar mereka menyadari relasi gereja dan masyarakat sebagai dua dimensi dari satu realitas kehidupan Kristen. Masalah kema-syarakatan entah itu kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, pencemaran lingkungan, dan isu-isu sosial lainnya harus dilihat sebagai tanggung jawab dan tugas bersama tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Gereja masa kini perlu melihat gereja perdana mengenai misi dalam hubungannya dengan rencana Allah bagi penyelamatan manusia, yakni gereja sebagai penatalayan di dunia juga memiliki tanggung jawab sosial sebagai bagian dari masyarakat manusia pada umumnya. Sejak awal, penginjilan, ajaran, persekutuan/ibadah, dan pelayanan sosial semuanya merupakan bagian integratif dari misi gereja perdana Kis. 242-47. Injil bersifat holistik karena Kekristenan yang alkitabiah berbicara kepada setiap kebutuhan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pelayanan misi gereja semestinya terintegrasi, baik dalam teologi maupun dalam praktiknya, tidak ada dualistis yang memisahkan antara “rohani” dan “fasik”, “individu” dan “komunitas”, “suci” dan “sekuler”, dan seterusnya. Oleh sebab itu, gereja harus menolak untuk memi-sahkan keduanya. Refleksi Penting sekali gereja memiliki pemahaman yang benar tentang pelayanan holistik kepedulian sosial dalam kaitannya dengan kegiatan Pekabaran Injil. Terkadang dijumpai pelayanan holistik dijadikan “alat” untuk mengkristenkan orang. Niat pembe-ritaan Injil, pertama-tama bukan didasarkan pada motivasi kristenisasi, yaitu untuk menjadikan orang yang bukan Kristen menjadi Kristen, atau menjadi anggota gereja tertentu pertumbuhan gereja. Pemberitaan Injil harus didasarkan pada kerinduan atau kasih agar mereka yang terhilang dalam dosa beroleh keselamatan melalui iman kepada Tuhan Yesus. Inilah motivasi dasar yang benar untuk kegiatan pekabaran Injil. Stevanus, “"Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”.” Ailsa Barker Wirawan, Jemaat Misioner Jakarta Bina kasih/OMF, 2011,190 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 114 Pelayanan holistic tidak hanya berusaha menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka sekarang ini. Terkadang juga pelayanan holistic dijadikan “alat” untuk meredam suatu gejolak di masyarakat ketika terjadi aksi protes atas kehadiran gereja. Ini adalah suatu perbuatan yang tidak jujur, tidak etis sebab tidak dilandasi kasih yang murni agape. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, disimpulkan bahwa paradigma dan praktik misi gereja harus direkonstruksi ulang, dan dalam implementasinya melakukan pendekatan integratif dan/atau holistik dalam pekerjaan misi. Sebab untuk itulah gereja ada dan diutus ke dalam dunia di mana ia ada. REFERENSI Anne Ruck, Dkk. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Arifianto, Yonatan Alex, and Kalis Stevanus. “Membangun Kerukunan Antarumat Beragama Dan Implikasinya Bagi Misi HUPERETES Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 2020 39–51. Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogjakarta Taman Pustaka Kristen, 2008. Bosch, David. Transformasi Misi Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2006. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001. Dwiraharjo, Susanto. “Kajian Eksegetikal Amanat Agung Menurut Matius 28  Jurnal Teologi Gracia Deo 1, no. 2 2019 56–73. Kalis Stevanus. Benarkah Injil Untuk Semua Orang? Yogyakarta Diandra Kreatif, 2017. ———. “Karya Kristus Sebagai Dasar Penginjilan Di Dunia Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 1–19. Lumintang, Stevri. Misiologia Kontemporer. Batu Malang YPPII, 2006. Mangunwijaya, “Pengantar”, Dalam Kepedulian Sosial Gereja, R. Dopo. Yogjakarta Kanisius, 1993. Petrus Octavianus. Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah. Batu Malang YPPII, 1985. Ria Pasaribu, Dkk. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Stevanus, Kalis. “"Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”.” Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 2018 284–298. ———. Lihatlah Sang Juruselamat Dunia. Yogyakarta Diandra Kreatif, 2018. ———. “Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menurut Lukas 1025-37 Sebagai Upaya Pencegahan BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, no. 2020 1–13. ———. Panggilan Teragung Pedoman Dan Metoda Praktis Untuk Memberitakan Kabar Baik Sampai Ke Ujung Bumi. Yogyakarta Andi Offset, 2019. Stevanus, Yonatan Alex Arifianto; Sari Saptorini dan Kalis. “Pentingnya Peran Media Sosial Dalam Pelaksanaan Misi Di Masa Pandemi HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, no. 2020 86–104. Thomas, Norman E. Teks-Teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Sedunia. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2012. Wirawan, Ailsa Barker. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 115 Woga, Edmund. Misi, Misiologi, Dan Evangelisasi Di Indonesia. Yogyakarta penerbit Kanisius, 2009. Yunianto, Kalis Stevanus dan. “Misi Gereja Dalam Realitas Sosial Indonesia Masa HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen no. 1 2021 55–67. Roedy SilitongaPantjar SimatupangGod calls his ecclesial church to go out to proclaim his Gospel to all creation and baptise, teach, and make all nations his disciples. Local churches, particularly in Indonesia, commonly carry on the calling by using the so-called One Duty the Missio Dei-Three Tasks koinonia, martyria, diakonia tasks. Reality shows of not uncommon partial and unbalanced implementations of the three tasks, mostly heavy focused on koinonia but less in both martyria and diakonia. The study objective is to assess implementation of the church missions view of drawing general lessons for a more effective implementation. The study was conducted at a small-sized church congregation in an indigenous community in a remote rural local area, using a mixed literature review, field observation and interviews, and conceptual synthesis methodology. The key findings are that mission fields are diverse and wide and requires contextual missions, the diakonia task plays a pivotal role, and a small size of congregation is good for quality-oriented missions, the Strength Gift Based Community Development conducted in a holistic integrated transformational mission is an appropriate approach. The study contributes to interdisciplinary understanding and formulation of basic principles in doing integrated missions by local churches, particularly in rural areas with indigenous community, remote location, and poverty-stricken mission study describes the importance of missionological learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education. Learning strategies in missionology-based Christian Religious Education to learners are very effective in strengthening the foundation of children's faith from an early age on the importance of carrying out the Great commission to preach the gospel. Coupled with holistic service learning strategies can help students quickly to implement missionology learning in schools and the community. Therefore, through this study, the author conveys that considering the importance of missionology learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education can equip and instill mission values with holistic service in students from an early age. This research uses descriptive qualitative methods with a literature study approach, so it can be concluded that the indicators of missionology learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education stated in this study can help readers understand the importance of missionary learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada para pendidik Kristen tentang pentingnya pendidikan misi melalui pelayanan holistik kepada peserta didik sejak dini melalui Pendidikan Kristen. Strategi pembelajaran dalam Pendidikan Agama Kristen yang berbasis misi kepada peserta didik sangat efektif untuk memperkuat fondasi iman anak-anak sejak dini tentang pentingnya pelayanan yang holistik tanpa harus dibatasi atau mengesampingkan yang lain. Strategi pembelajaran pelayanan holistik juga dapat membantu peserta didik dengan mudah untuk mengimplementasikan misi di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis menyampaikan bahwa misi melalui pelayanan holistik sangat penting dalam Pendidikan Kristen, karena dapat membekali dan menanamkan nilai-nilai misi dengan pelayanan holistik dalam diri peserta didik sejak dini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi literatur dan memberikan kesimpulan mengenai indikator-indikator sebagai faktor yang menentukan pentingnya strategi pembelajaran misi melalui pelayanan holistik dalam Pendidikan Agama relationship between the church and the world, the task of preaching the gospel and social care are still hot topics of discussion today. The purpose of raising this topic is so that the church can be reminded of the correct paradigm regarding the double mandate commanded by Jesus Christ the Head of the church in Matthew 2819-20 and Matthew 2234-40. The church's paradigm regarding the two mandates invariably influences and determines the practice of church life in its daily form. To describe the subject of this discussion, the author used a qualitative approach based on a literature study in which a range of relevant books and scientific academic articles were investigated and considered after which descriptive conclusions could be drawn. The results of the study indicate that Jesus through the mandate of evangelism, becomes an agent of spiritual transformation which ultimately results in needed social transformation. The mission of God is then for all of us to be involved in the spiritual elements of life and in considering the afterlife and of course also in striving to make the world a better place for SianturiThomas AllfadiserThe use of image-based media in teaching, is also needed as a means to teach in conveying material. Therefore, the use of image-based media is expected to be able to improve understanding of PAK teaching, especially in Sunday Schools of primary age. The purpose of this study is to find the reality, in the use of image-based media that is used as a medium to deliver PAK teaching in Sunday Schools. This research uses qualitative research with a case study approach. The research results obtained from the reality of using image-based media are to determine the material to be delivered. So, before the use of image-based media is used, the teacher first determines the material to be delivered, then the use of the media has a match with the material that has been TeologiPendidikan KristenParadigma MisiTeologi CipanasCriticism to the church in carrying out its mission is often raised. A number of churches are considered no longer world-oriented but only Heaven-oriented. In his book, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, Ebenhaizer I. Nuban Timo suggests that there are four erroneous paradigms about the mission. This paper is an attempt to assess whether these four erroneous paradigms also exist in the Batak Karo Protestant Church GBKP Namo Buah Silebo-Lebo NBS, Deli Serdang district, North Sumatra. The purpose of this assessment, of course, is to get a real picture of the GBKP NBS. This research is qualitative research through literature study and interviews. A literature study was carried out by tracing a number of writings on the mission of the church and also a number of GBKP NBS documents. Meanwhile, the interviewees included Former NBS Village Head, GBKP NBS church leader, a number of members and administrators of several GBKP NBS categories. As a result, the four mission paradigm errors concluded by Timo above were also found in the NBS GBKP. Abstrak Kritik terhadap gereja dalam menjalankan misinya sering dikemukakan. Sejumlah gereja dinilai tidak lagi berorientasi pada dunia tetapi hanya berorientasi pada Surga. Dalam bukunya, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, Ebenhaizer I. Nuban Timo mengemukakan adanya empat paradigma yang keliru tentang misi. Tulisan ini merupakan upaya untuk menilai apakah keempat paradigma yang keliru ini juga ada di dalam Gereja Batak Karo Protestan GBKP Namo Buah Silebo-Lebo NBS, kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri sejumlah tulisan mengenai misi gereja dan juga sejumlah dokumen GBKP NBS. Sementara itu, wawancara dilakukan terhadap beberapa komponen masyarakat. yang diwawancarai antara lain Mantan Kepala Desa NBS, pemimpin jemaat GBKP NBS, sejumlah anggota dan pengurus beberapa kategorial GBKP NBS. Hasilnya, keempat kekeliruan paradigma misi yang disimpulkan oleh Timo di atas ternyata juga ditemukan dalam GBKP general, the problem of mission today is related to a one-sided emphasis on one side. One emphasizes and maintains the context of the humanitarian field with all its problems and challenges so that it tends to ignore the text. While others are fixated on the text and ignore the context. It is undeniable that the mission paradigm will influence and determine its missionary practice. This paper is intended to contribute theoretically about the importance of reconstructing the Church's mission paradigm that is relevant to the context of today's Indonesia, and practically the churches in Indonesia can implement an applicable form of mission by taking part in alleviating the concrete problems faced. by the community according to the capabilities of the church members. By using a qualitative approach, namely a literature study, the author will describe descriptively about the foundation of Christian mission and the urgency of conducting a review or updating of the understanding and practice of its mission in the current concrete situation. It was concluded that the mission of the church must still be carried out but in its implementation it must pay attention to the social situation in the community. Because the mission of the church without paying attention to the context of its recipients will find difficulties and even failures in carrying out God's will as the light and salt of the world. This means that the strategy or technique of the church's mission must be implemented according to the current context in which the church is Coronavirus Disease 2019 Covid-19 outbreak, or better known as the Corona virus, is spreading rapidly, bringing changes in socializing and communicating in the community. Government regulations require all citizens to participate in breaking the chain of transmission of the virus. This of course also has an impact on the concept and implementation of the mission that has been carried out, namely face to face. As one way the church must continue to take its role in witnessing or preaching the gospel of Jesus Christ to non-believers using social media as the right choice in carrying out missions during the Covid-19 pandemic. This article will describe the understanding of the Church or believers as recipients of God's mission mandate, and the use of social media as a means of carrying out missions during the Covid-19 pandemic, and how the effectiveness and constraints of carrying out missions through social media. The results of the research can be said that the mission can still be carried out in all conditions in the midst of society even though without having to meet face to face with the way the church empowers its people to actively use social media as a means of preaching the Coronavirus Disease 2019 Covid-19 atau lebih dikenal dengan nama virus Corona yang menyebar dengan cepat membawa perubahan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi di masyarakat. Aturan pemerintah mengharuskan semua warga berpartisipasi dalam memutus rantai penularan virus tersebut. Hal itu tentu juga berdampak pada konsep dan pelaksanaan misi yang selama ini dilakukan, yakni dengan tatap muka secara langsung. Sebagai salah satu caranya gereja harus tetap mengambil perannya untuk bersaksi atau memberitakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang yang belum percaya menggunakan media sosial sebagai pilihan yang tepat di dalamnya pelaksanaan misi di masa pandemi Covid-19. Artikel ini akan memaparkan pemahaman tentang Gereja atau orang percaya sebagai penerima mandat misi Allah, dan pemanfaatan media sosial sebagai salah satu sarana pelaksanaan misi di masa pandemi Covid-19, dan bagaimana efektivitas serta kendala pelaksanaan misi melalui media sosial. Hasil penelitian dapat dikatakan bahwa misi dapat tetap dilakukan dalam segala kondisi di tengah-tengah masyarakat meskipun tanpa harus tatap muka secara langsung dengan cara gereja memberdayakan umatnya untuk secara aktif menggunakan media sosial sebagai sarana pemberitaan Bina kasih/OMF, 2011. Arifianto, Yonatan Alex, and Kalis StevanusAnne RuckDkk Jemaat MisionerAnne Ruck, Dkk. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Arifianto, Yonatan Alex, and Kalis Stevanus. "Membangun Kerukunan Antarumat Beragama Dan Implikasinya Bagi Misi Kristen." HUPERETES Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 2020 Gereja Misioner Dalam Konteks IndonesiaWidi ArtantoArtanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogjakarta Taman Pustaka Kristen, Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman AllahPetrus OctavianusPetrus Octavianus. Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah. Batu Malang YPPII, StevanusStevanus, Kalis. ""Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik"." Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 2018 284-298. -. Lihatlah Sang Juruselamat Dunia. Yogyakarta Diandra Kreatif, 2018. -. "Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menurut Lukas 1025-37Sebagai Upaya PencegahanKonflikSebagai Upaya Pencegahan Konflik." BIA' Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, no. 2020 1-13. -. Panggilan Teragung Pedoman Dan Metoda Praktis Untuk Memberitakan Kabar Baik Sampai Ke Ujung Bumi. Yogyakarta Andi Offset, 2019.
WhcBzjq.
  • 688utgjsho.pages.dev/298
  • 688utgjsho.pages.dev/374
  • 688utgjsho.pages.dev/329
  • 688utgjsho.pages.dev/309
  • 688utgjsho.pages.dev/294
  • 688utgjsho.pages.dev/78
  • 688utgjsho.pages.dev/340
  • 688utgjsho.pages.dev/186
  • 688utgjsho.pages.dev/53
  • perbedaan gereja perdana dan gereja masa kini